Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Paranoia", Ketakutan Kita, dan Pesona Nicholas Saputra

4 Desember 2021   18:01 Diperbarui: 4 Desember 2021   18:05 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Mirles Production

Gara-gara penasaran dengan iklannya yang wara-wiri di linimasa medsos, yang memunculkan potongan adegan dan dialog tegang-tegang misterius, saya dan kawan-kawan kepo berat terhadap Paranoia. Tentu ditambah magis seorang Nicholas Saputra.

Hmm. Bisa jadi malah faktor magis tersebut yang dominan sebagai pemantik. Entahlah. Namun apa pun pemantik utamanya, yang jelas kami termotivasi untuk menonton Paranoia. Terlebih kami tahu bakalan ada nobar dengan produser, sutradara, dan para pemainnya.

Meskipun belum tentu Nicholas Saputra bisa hadir, kami bertekad kuat untuk menonton Paranoia pada pemutaran nobarnya. Di kesempatan pertama tayang di Yogyakarta. Sebelum waktu rilis resminya untuk khalayak ramai. Syukurlah kami sukses memperoleh tiket nobar. 

Kembali ke Bioskop dengan Taat Prokes

Singkat cerita, hari H pun tiba. Langit sore Yogyakarta yang biasanya kelabu plus disusul curahan hujan, Alhamdulillah cerah. Secerah hati kami yang tengah menjemput peruntungan bisa melihat langsung sosok Nicholas Saputra.

Demikianlah adanya. Setelah berjeda satu tahun lebih, akhirnya pada tanggal 8 November 2021 itu kami kembali ke bioskop. Pastilah kami merasa senang sebab berarti sudah tak "parno" lagi menghadapi situasi pandemi ini. Bioskop juga senang menyambut kembalinya para penonton. 

Dokpri
Dokpri

Kesenangan bertambah saat kami melihat Nicholas Saputra dan Nirina  Zubir (dua pemain bintang dalam Paranoia) serta Riri Riza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser) melenggang masuk ke ruang pemutaran film. Kami pun segera mengekori. 

Film tak langsung diputar. Ada sambutan-sambutan singkat dari #timparanoia, pemberitahuan kalau ada doorprize di bawah kursi buat 10 penonton yang beruntung (saya mendapatkan masker bertulisan "Paranoia"), dan berswafoto bersama dulu. 

Secara umum semua sambutan berisi harapan terhadap Paranoia dan kisah Paranoia behind the scene. Plus ajakan untuk kembali ke bioskop dengan taat prokes. Tujuannya agar bioskop tidak kembali ditutup gara-gara menjadi kluster penyebaran Covid-19.

Dokpri 
Dokpri 

Menyoraki Nicholas Saputra 

Saya dan rombongan menempati kursi di barisan ketiga dari depan. Memang agak mendongak, sih. Namun kabar baiknya, kami justru bisa in frame dengan Nicholas Saputra tatkala ia diminta melakukan swafoto alias selfie bersama penonton sebelum film diputar.

Dokumentasi Mirles Production
Dokumentasi Mirles Production
Luar biasa 'kan? Kembali ke bioskop dan sekalinya datang langsung selfie massal bersama tokoh yang kerap kami halukan sebagai teman mengobrol. Yang ternyata, ia kurang piawai memainkan kamera depan. Sampai-sampai semua mesti menunggu lama ketika Nicholas Saputra utak-atik HP. 

Di situlah para penonton yang gemas mendapatkan momentum untuk ngerjain si dia. Serentak kami bilang, "Oalaaah. Pantesaaan gak pernah posting wajah di IG. Ternyata penyebabnya enggak bisa selfieee."

Perlu diketahui, Nicholas Saputra memang tak pernah obral tampang di akun IG pribadinya. Jadi orang-orang yang menyambangi akun tersebut dengan tujuan menikmati keelokan wajahnya, pastilah bakalan kecele.

Tentang Paranoia

Sekarang mari bicara tentang filmnya. Apakah memang mendebarkan seperti iklannya? Ciamikkah penampilan Nicholas Saputra? Para pemain lain bagaimana?  

Iya. Filmnya sungguhan menimbulkan ketegangan yang pekat. Terutama sejak bagian awal hingga pertengahan. Dalam kurun waktu tersebut penonton dibikin tercekam. 

Adegan demi adegan terasa berjalan cepat dalam atmosfer kekalutan. Mengandung misteri dan situasi kelam. Membuat penonton meraba-raba arah cerita dan bertanya-tanya. 

Mengapa Nirina Zubair (pemeran Dina) resah saat menyimak berita TV mengenai pembebasan para napi akibat pandemi Covid-19? Mengapa Caitlin North-Lewis (pemeran Laura) cuek-cuek saja di sampingnya? Apa hubungan berita tersebut dengan mereka? 

Saya menahan napas ketika melihat adegan Dina mengemudikan mobil dan menabrak kucing hingga mati. Pertanda buruk apakah itu? 

Di kemudian waktu diketahui bahwa sesuatu yang buruk itu ternyata bebasnya Gion (Lukman Sardi), suami Dina, dari penjara. Iya. Baik bagi Gion, tetapi buruk bagi Dina. Mengapa? Hmm. Sebaiknya Anda sekalian langsung menonton filnya saja, deh. Hehehe ....

Singkat cerita, ini memang film thriller. Percayalah. Tiada satu unsur dedemit pun yang terlibat. Hanya saja sejak pertengahan hingga akhir film, kadar mendebarkannya tereduksi oleh kilatan bibit-bibit asmara antara Raka dan Dina. Malah semula plus Laura juga.

Sementara sesuai dengan judulnya, Paranoia sebenarnya berkisah tentang ketakutan yang akut. Dalam hal ini ketakutan yang mendera Dina, baik ketakutannya terhadap Covid-19 maupun Gion. Bahkan, kemudian Dina mengaku kepada Raka (Nicholas Saputra) bahwa ia lebih takut kepada Gion daripada takut terpapar virus corona.

Kiranya apa yang dialami Dina jamak terjadi di dunia nyata. Tak sedikit orang mengalami trauma terhadap seseorang. Merasa sedemikian takut dan terteror, padahal mestinya seseorang itu melindungi dan menyayangi. 

Di sisi lain, ada orang-orang seperti Gion. Dapat bersikap sedemikian kejam. Posesif terhadap istri, tetapi luwes melakukan KDRT. Terbiasa tega melakukan kekerasan demi mencapai tujuan di balik penampilan normalnya.

Di sisi lainnya lagi, betapa kadangkala kita dapat merasa nyaman dan percaya kepada orang yang baru dikenal. Seperti halnya Dina dan Laura yang cepat akrab dengan Raka.

Keparnoan Dina. Kesadisan Gion. Keacuhtakacuhan Laura sebagai remaja. Semua merupakan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Faktanya karakter-karakter begitu memang ada di kehidupan nyata. Bahkan mungkin, saya atau Anda adalah salah satunya. Poin inilah yang menurut saya, bisa mengikat penonton. 

Terlebih situasi pandemi dijadikan latar waktu dan pembebasan para napi akibat pandemi itu dijadikan pemicu menguatnya keparnoan Dina. Bukan sekadar "ditempelkan" agar terkesan selaras dengan kabar terkini. 

Dengan demikian, mau tak mau saya dan penonton lainnya merasa nyambung dengan isi cerita. Sama dengan Dina, kami juga mengalami paranoia sesuai kadar takut masing-masing. 

Tanpa diteror sosok semacam Gion pun pandemi sudah bikin gila. Jika ada tambahan teror sebagaimana yang dialami Dina, tentu potensi bikin gilanya meningkat. Sementara pandemi wajib dihadapi dengan kondisi sehat lahir dan batin. Fisik dan psikis mesti sama-sama prima agar kita senantiasa baik-baik saja.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya dari segi sinematografi, saya pikir film ini penting dan menarik. Apa alasannya? Karena setelah menontonnya, saya menjadi teringat pada isu-isu terkait KDRT dan kesehatan mental. 

Bukankah perilaku semua tokoh tak terlepas dari keadaan batin masing-masing? Dina yang melarikan diri dari sang suami tak dapat disalahkan begitu saja. Kecuekan dan kejutekan Laura tak terlepas dari kondisi yang dihadapi plus terkait dengan usianya. Gion tak bisa serta-merta disebut sebagai tokoh antagonis. Raka yang beranjak menjadi pelindung Dina dan Laura pun tak bisa begitu saja disebut protagonis. 

Nirina dan Lukman memainkan peran mereka dengan sangat baik. Caitlin tak jauh beda. Indikator yang saya pakai simpel saja. Gerak-gerik dan kelakuan Laura yang hampir berusia 17 tahun, yang diperankannya, plek ketiplek anak saya yang tempo hari baru bikin KTP.  

Hanya saja menurut saya, postur dan wajahnya terlalu Eropa kalau menjadi anak dari Dina dan Gion. Selain itu cara berpakaiannya terlalu terbuka di sepanjang waktu, untuk ukuran remaja Indonesia pada umumnya.

Bagaimana dengan Nicho? Terusterang saja bagi saya, karakter Raka tak menorehkan kesan mendalam. Eksistensinya sebagai orang yang tengah berjuang untuk berdamai dengan masa lalunya kurang terlihat. Kegundahannya sebagai ayah yang kehilangan/terjauhkan dari anak kurang terdeskripsikan dari sikapnya.

Jadi, yang saya rasakan begini. Datang ke bioskop sebab penasaran dengan peran dan akting Nicholas Saputra. Pulangnya malah kesengsem pada Gion. Sayang sekali pemeran Gion, yaitu Lukman Sardi, tidak ikut hadir. Tak bisa say hello dan minta fotbar beliau, deh.  Syukurlah bisa berfoto bareng Mbak Mira dan Bang Nicho (tapi Bang Nicho-nya dalam bentuk poster).

Dokpri
Dokpri

Begitulah. Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, Paranoia berkisah tentang hidup yang acap kali mesti dijalani dengan perasaan-perasaan rumit. Tumpang tindih antara yang baik dan buruk. Tak bisa ditarik garis tegas antara yang antagonis dan protagonis. 

Iya. Sejujurnya Paranoia memang tak semendebarkan teaser-nya yang lewat di linimasa medsos. Namun, tetap amat layak ditonton sebagai bahan renungan dan (tentu saja) hiburan berfaedah. Terlebih bagi para penggemar garis keras Nicholas Saputra.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun