Siapa yang lebih layak disebut pahlawan? Siapa yang paling berjasa untuk kemajuan peran perempuan? Kartini atau Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan)? Mengapa ada Hari Kartini? Mengapa tidak ada Hari Siti Walidah atau Hari Nyai Ahmad Dahlan?
Mengapa ada beberapa film khusus tentang Kartini (1982 , 2016, 2017) dan hanya ada satu film khusus tentang Siti Walidah (2017)? Bukankah Siti Walidah telah berbuat lebih nyata untuk memperjuangkan emansipasi perempuan? Sementara Kartini baru sebatas memikirkan dan mencita-citakannya?
Mengapa Kartini lebih ditonjolkan daripada Nyai Ahmad Dahlan? Sengaja, ya? Karena Belanda tidak menghendaki Nyai Ahmad Dahlan (yang perjuangannya berbasis ormas keagamaan) dikenal publik yang lebih luas?
***
Tiga paragraf di atas adalah rangkuman pertanyaan yang saya temukan saat berselancar di internet. Terkhusus di kolom komentar tulisan-tulisan tentang Nyai Ahmad Dahlan, baik yang terkait dengan film Nyai Ahmad Dahlan maupun tidak.
Tentu komentar-komentar itu sedikit banyak terpantik oleh provokasi halus isi tulisan. Tak lain dan tak bukan, provokasi halus yang saya maksudkan adalah narasi yang arahnya membanding-bandingkan kiprah Nyai Ahmad Dahlan dan Kartini.Â
Yang lebih parah, ada pula yang sampai mempertanyakan dan terkesan hendak mereduksi kiprah Kartini dalam memperjuangkan emansipasi kaumnya. Â
Sementara mestinya, kedua perempuan hebat tersebut tak perlu diperbandingkan. Selain tak elok, keduanya memang tak bisa dibanding-bandingkan. Terlebih kalau sampai ada narasi yang mereduksi perjuangan masing-masing. Itu makin tak elok.
Buat apa dibanding-bandingkan begitu? Toh keduanya memang berbeda kondisi dan kesempatan. Walaupun lahir sezaman, mereka memiliki lingkungan yang berbeda.Â
Masing-masing lahir dan dibesarkan dalam kultur yang tak sama. Yang satu di lingkungan santri moderat. Yang satunya di lingkungan priayi yang masih kental kultur feodalnya.