Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Curhat Pandemi bersama Kompasianer Jogja: Kapan Pandemi Ini Berakhir?

13 Agustus 2021   21:23 Diperbarui: 13 Agustus 2021   21:28 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan, Mas Dimas kemudian mesti mengambil sendiri surat keterangan sembuhnya. Sementara di lokasi pengambilan tersebut ada banyak orang. Kata Mas Dimas, "Di situ campur baur orang. Kita tidak tahu kondisi kesehatan mereka. Maka tidak heran kalau kasus positif di sini tinggi."

Yeah? Benar juga .... It's ruwet.

Mas Dimas--yang kini bermukim di wilayah yang sama dengan orang tua Pak Khun--sudah menyiapkan mental saat mulai merasakan gejala awal. Sudah merencanakan akan begini-begitu andai kata beneran dikonfirmasi positif. Sudah punya bayangan akan melakukan apa untuk upaya penyembuhan.

Oleh karena itu, dia sekeluarga relatif telah siap mental dalam menjalani masa isoman. Terlepas dari beberapa kekurangsigapan "elemen" terkait. Nah! Bayangkan jika kondisi mental sedang tak siap. Pasti akan berdampak buruk.

Capture/Dokpri
Capture/Dokpri

Menyimak penuturan Mas Dimas dari awal hingga akhir membuat saya sedih dan tercekam. Di sepanjang acara, selama menyimak penuturan para narasumber dan peserta lain yang bersedia berbagi cerita, sesungguhnya kedua rasa itulah yang menerpa diri ini.

Saya memang telah banyak membaca cerita dari para penyintas Covid-19. Namun, pastilah ada nuansa yang berbeda manakala mendengarkan cerita secara langsung dari orang-orang yang kita kenal.

O, ya. Mas Dimas tak tahu pasti dari mana ia kemungkinan tertular. Hanya menduga bahwa kemungkinan besar dari rekan sekantor yang memang menunjukkan gejala batuk-batuk. Wah! Hal ini membuat saya merasa makin tidak percaya diri untuk berada di dekat banyak orang.

Saya pernah memutuskan tidak salat di musala selama sekian hari gara-gara pada suatu ketika beberapa jamaah batuk-batuk. Memang jarak sudah diatur sesuai prokes. Wajib pakai masker. Peralatan ibadah pun wajib bawa sendiri dari rumah. Akan tetapi, tetap saja saya merasa terteror batuk-batuk para jamaah.  

***

Sebenarnya narasumber acara ini adalah Mas Dimas dan Pak Khun. Akan tetapi, beberapa peserta lain berbaik hati ikut bercerita. Mbak Retno, sang moderator, juga tak ketinggalan. Ia bukan penyintas, tetapi belakangan sibuk membantu sang suami yang menjadi Ketua RT, dalam mengurus para warganya yang sedang isoman.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun