Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Curhat Pandemi bersama Kompasianer Jogja: Kapan Pandemi Ini Berakhir?

13 Agustus 2021   21:23 Diperbarui: 13 Agustus 2021   21:28 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau Pak Nanang punya cerita dari sisi nakes, Pak Khun punya cerita dari sisi kerabat penyintas Covid-19, yang akhirnya meninggal dunia. Dengan ekspresi dan nada bicara menahan sedih, beliau menceritakan kronologinya.

Capture/Dokpri
Capture/Dokpri

Mama dan papa beliau berdomisili di wilayah Jabodetabek. Mereka hanya tinggal dengan seorang ART. Ketiganya telah taat prokes. Hanya keluar rumah untuk sesuatu yang urgen. Akan tetapi, si virus yang justru datang ke rumah. Melalui seorang tetangga kompleks yang berkunjung. Mulanya Mbak ART yang sakit, kemudian disusul mama dan papa Pak Khun.

Cerita sedih Pak Khun tak berhenti di situ. Ternyata pengurusan kremasi jenazah kedua orang tuanya tak segampang pengurusan dalam kondisi normal. Krematorium di mana-mana mesti antre lama.

Kabarnya bahkan ada pihak ketiga yang "menjembatani" antara pihak keluarga yang berduka dengan pihak krematorium. Tentu dengan konsekuensi biaya menjadi lebih mahal. Itulah sebabnya tempo hari ada berita mengenai mafia kremasi.

Dari cerita Pak Khun lagi-lagi terbukti, betapa keteledoran OTG (Orang Tanpa Gejala) yang bebas berkeluyuran dapat berujung menyedihkan begitu. Sayang sekali banyak OTG yang tak sadar jika telah menzalimi dan merugikan orang lain.

***

Sementara itu Mas Dimas punya kisah yang berbeda. Sebagai penyintas Covid-19 yang akhirnya lulus dengan baik, Mas Dimas menegaskan, "Saya tidak mau sakit seperti ini lagi. Benar-benar terasa menyiksa. Saya kehilangan penciuman selama dua minggu. Istri saya malah sampai tiga minggu."

Wah, lama sekali. Spontan pikiran saya merespons. Maklumlah. Selama ini berdasarkan cerita para penyintas yang saya simak, kehilangan penciuman hanya berkisar 3-5 hari. Adik saya malah 2 hari saja. Kiranya gejala dan kondisi tubuh masing-masing penyintas memang berlainan. Tak hanya dalam hal kehilangan penciuman (anosmia), tetapi juga dalam hal gangguan kesehatan lainnya.   

Mas Dimas pun bercerita tentang kepedulian para tetangga sekitar selama keluarganya mesti melakukan isolasi mandiri (isoman). Istilahnya jaga tangga. Saling menjaga di antara tetangga. Pastinya cerita demikian bikin senang. Menunjukkan bahwa masyarakat kita belum secuek bebek dan sebrutal di linimasa medsos.

Yang kurang menyenangkan justru cerita tentang cara kerja "elemen" lain yang berwenang. Setelah melaporkan diri kalau sedang isoman, petugas dari "elemen" lain itu tak kunjung datang atau menghubungi lagi. Malah bikin galau 'kan? Justru menempatkan pasien isoman dalam situasi ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun