Toxic positivity memang berbahaya. Tepatnya bahaya yang terkemas dalam kebaikan. Sepintas lalu "positivity" tampak merujuk pada sesuatu yang bernilai baik. Akan tetapi, embel-embel "toxic" jelas-jelas langsung menghempaskan nilai kebaikan tersebut. Hmm. Jadi, apa sebenarnya toxic positivity itu?
Mohon maaf, saya kesulitan merangkai sebuah definisi yang pas untuk istilah tersebut. Jadi, mari langsung simak contohnya saja.
Begini. Jika suatu saat Anda merasa demikian sedih dan frustrasi gara-gara dimarahi atasan, lalu seorang teman menghampiri sembari berkata, "Ayo semangat! Jangan cemen gitu, ah. Gitu aja nangis. Kemarin si bos malah lebih sadis marahnya ke aku. Tapi kaulihat, aku santai-santai saja 'kan?"
Perkataan si teman benar. Ia tidak berdusta. Ia pun tidak bermaksud meremehkan. Sebaliknya, ia bertujuan memotivasi agar Anda tidak lagi bersedih. Hanya saja, Anda yang tengah kalut justru merasa makin kalut mendengar perkataannya. Makin banyak ia berbicara, makin kalut perasaan Anda sebab merasa dipaksa untuk bergembira pada saat hati terluka.
Nah! Itulah yang disebut dengan toxic positivity.
Menyedihkannya, toxic positivity acap kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Yang lebih menyedihkan, terjadinya tanpa disadari oleh si pelaku toxic positivity. Bahkan tak jarang, orang yang menyemburkan toxic positivity merasa berjasa sebab telah menjadi motivator. Ia tak sadar bahwa korban semburan toxic positivity-nya diam-diam tergores hati. Sungguh menyebalkan.
Silakan diingat-ingat. Apakah Anda pernah menjadi korban toxic positivity? Atau, malah terlalu sering menyemburkannya? Kalau terlalu sering menyemburkannya, sudahilah perilaku berbahaya tersebut.
Trauma Curhat
Gara-gara toxic positivity saya mengalami (semacam) trauma untuk curhat kepada seseorang. Bagaimana tidak trauma kalau baru menuturkan intro curhat dengan kalimat "Mbak, aku kok merasa frustrasi ya ...", kemudian langsung disergah dengan kalimat "Orang beriman kok frustrasi. Mestinya orang beriman itu bertakwa. Enggak pernah stress ... bla-bla-bla...".
Sungguh terpana saya mendengar respons tersebut. Makin frustrasi karena merasa gagal sebagai makhluk-Nya. Perasaan ini mungkin terkesan berlebihan. Namun, bila mengingat konteksnya saat itu dan usia saya yang masih amat belia, wajar-wajar saja adanya.
Yang jelas, sejak saat itu saya lebih suka menuntaskan kesedihan dengan tangisan dalam sepi di kamar sendirian. Ya ampuuun. Kedengarannya ngenes banget, ya? Hahahaha!
Saya juga pernah merasakan momen saat perasaan sedang remuk redam, tapi diminta untuk tetap semangat dan beraktivitas sebagaimana biasa. Yang meminta bukan seseorang, melainkan keadaan. Tatkala itu semaksimal mungkin saya saya berusaha tegar karena kondisi mengharuskannya demikian. Akan tetapi, setelah situasi memungkinkan saya menangis sepuas-puasnya. Tentu dilanjutkan mengadu habis-habisan kepada Sang Maha Mengerti.
O, ya. Ada hikmahnya juga trauma curhat yang saya alami. Kini saya terbiasa tidak lambe turah kalau ada seseorang yang curhat terang-terangan ataupun curcol. Seingin-inginnya saya berkomentar "Halah! Cuma segitu aja lho, masalahmu. Itu masalah kecil ...." , saya mati-matian mengunci mulut. Pilih menanggapinya dengan senyuman saja.
Lagi pula, saya bingung hendak berkata-kata apa. Sudahlah bingung memilih kata, bingung juga kapan mau mengomongkannya. Yeah, biasanya orang-orang yang curhat maupun curcol itu kecepatan bicaranya luar biasa. Alhasil, saya yang pendiam jadi kerepotan. Â
Hati-hati Memotivasi AnakÂ
Toxic positivity yang disemburkan ke sesama orang dewasa saja berbahaya. Pastinya akan lebih berbahaya jika disemburkan kepada anak-anak dan remaja. Apesnya, banyak orang tua yang melakukannya tanpa sadar kepada anak-anak mereka.
Sering sekali orang tua bermaksud menyemangati anaknya untuk berusaha melakukan sesuatu secara mandiri. Misalnya agar si anak bisa mengerjakan tugas prakaryanya tanpa bantuan. Tidak tergantung 100 % pada bantuan orang tua.
Jika si anak bersikeras untuk meminta bantuan, sementara orang tua yakin bahwa sebenarnya si anak mampu mengerjakan prakarya tanpa bantuan, sering yang terucap, "Ayolah kerjakan sendiri. Masak gitu aja enggak bisa? Keterlaluan kalau enggak bisa. Itu 'kan mudah. Adikmu saja bisa."
Sebuah ucapan yang terdengar menyemangati 'kan? Namun, hati-hati. Alih-alih terpantik semangat untuk mengerjakan tugas secara mandiri. Perasaan si anak justru dapat terluka sebab merasa direndahkan.
Alibi Si Pembajak Buku
Apa kaitan toxic positivity dengan pembajak buku? Oh, kaitannya erat sekali. Apakah Anda tidak menyadarinya?
Mari ingat-ingat. Bukankah pada umumnya kaum pembajak buku, terutama buku-buku mahal yang wajib dimiliki pelajar/mahasiswa, selalu beralibi bahwa pembajakan yang dilakukan bertujuan mulia? Mulia sebab menolong pelajar/mahasiswa berduit pas-pasan agar sanggup memiliki buku-buku mahal yang dibajak itu.
Punya buku berarti bisa belajar dengan lancar. Bisa cepat lulus dan bekerja. Tidak berlama-lama menjadi beban orang tua.
Halah! Itu omong kosong belaka. Toxic positivity.
Pembajakan buku itu ya berarti kecurangan. Menzalimi penulis. Sang penulis mestinya bisa menerima banyak royalti, eh, gara-gara marak pembajakan bukunya ya jadi tak menikmati royalti yang melimpah itu. Royaltinya digarong oleh si pembajak.
Sungguh merupakan toxic positivity yang jahat sekali toh?
***
Demikian sudut pandang saya terhadap toxic positivity. Semoga ada manfaatnya bagi pembaca sekalian. Minimal, Anda semua menjadi tersadarkan bahwa alibi si pembajak buku sesungguhnya merupakan bentuk lain dari toxic positivity. Tepatnya toxic positivity yang jahat sekali kepada penulis.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H