Pandemi corona ini sungguh-sungguh bikin saya yang terbiasa di rumah saja menjadi kian terbiasa di rumah saja. Namun seterbiasa-biasanya di rumah saja, pastilah sekali waktu saya ingin main-main di luar rumah juga. Yeah?!! Pandemi corona memang enggak asyik. Walaupun ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari situasi pandemi tersebut, secara umum tetap layak dilabeli enggak asyik.
Itulah sebabnya saya kemudian memaklumi kalau banyak orang beranjak depresi dalam menjalani hari-hari semasa pandemi. Bagaimana, ya? Mencari hikmah dari sebuah peristiwa tak menyenangkan memang relatif susah. Terlebih jika rasa syukur telah tergerus atau tercecer entah di mana.
Beruntunglah saya punya lingkungan yang baik. Lingkungan yang tidak kondusif bagi orang-orang yang maunya mengeluh terus. Alhasil, saya sanggup memunguti lagi rasa syukur yang sempat sedikit tercecer.
Terlepas dari sisi enggak asyiknya (setelah radar penangkap rasa syukur saya perkuat dan perlebar), ternyata tetap ada sisi baik yang dapat diambil dari situasi pandemi. Sisi baik tersebut ada yang bersifat umum, ada pula yang bersifat personal. Salah satu sisi baik yang saya rasakan adalah kembali ingat pada Kompasiana.
Saya memang tak pernah sampai lupa kalau diri ini seorang Kompasianer. Status keanggotaan di WAG K-Jog dan K+250 bagaimanapun selalu menjaga ingatan akan hal itu. Hanya saja, saya nyaris tak pernah mengunggah tulisan. Kalau main ke laman kesayangan kita ini ya sekadar baca-baca. Tanpa respons. Tanpa komentar. Â Â
Sebenarnya sih, aktif menulis di Kompasiana tetap masuk ke dalam daftar rencana kegiatan. Sayang sekali tak kunjung beranjak action. Rasanya selalu ada alibi sibuk untuk menunda action. Hingga akhirnya, eksistensi virus corona menggila.
Tagar stay at home alias di rumah saja memberikan banyak kesempatan untuk merenung, berpikir, membaca, dan .... Mengeksekusi sebuah ide menjadi sebentuk tulisan untuk diunggah di Kompasiana!
Setelah sekian waktu sekadar berwacana untuk aktif sebagai Kompasianer, kurang lebih dua bulan sebelum tahun berganti, saya akhirnya berhasil mengunggah tulisan juga. Disusul beberapa tulisan lain.
Demikianlah adanya. Saya memang Kompasianer lama rasa baru. Malah cenderung beneran baru karena merasa asing dengan nama-nama Kompasianer yang eksis. Satu dua nama saja yang terekam dalam ingatan sebagai Kompasianer lama. Salah satunya Pak Tjip. Bu Lina malah tidak ingat sebab tampaknya, saya nonaktif ketika beliau mulai aktif.
Hari demi hari berlalu. Pandemi masih berjalan. Tahu-tahu sampai di penghujung 2020. Januari 2021 pun tiba. Hari pertama habis, disusul hari kedua, dan seterusnya. Entah kapan tepatnya di antara hari-hari itu, saya menerima pesan WA dari Pak Ikhwanul Halim. Isinya informasi mengenai penerbitan buku 150 Kompasianer Menulis, dalam rangka merayakan ultah ke-56 pernikahan Pak Tjip-Bu Lina.
Singkat cerita, buku tersebut terbit dan satu eksemplar telah sukses mendarat di tangan saya. Wow! Ternyata besar dan tebal. Menjadi buku bukti terbit terbesar yang pernah saya terima. Buku yang disemati judul 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi itu memuat lebih dari 150 tulisan.