Usai menyimak tulisan demi tulisan saya menyadari sesuatu. Buku 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi ternyata sangat membantu saya mengenali para Kompasianer. Terlebih yang termasuk ke dalam jajaran Kompasianer baru. Maksudnya yang mulai aktif ketika saya nonaktif dan saat saya kembali aktif, mereka sudah ngeksis sekali.
Ada Pak Ludiro Madu yang kemudian saya sadari bahwa kami sama-sama berada di satu grup Telegram. Ada Mbak Wahyu Sapta yang tulisannya di Kompasiana justru baru saya baca belakangan. Ada sosok guru muda Ozy yang identik dengan kejomloan, padahal guru biasanya identik dengan Oemar Bakrie. Ada Mbak Ayra Amirah yang uniknya baru saya baca tulisannya di Kompasiana setelah beliau berkomentar di salah satu postingan Instagram saya. Dan sebagainya.
Selain menjadi tahu nama dan wajah (mohon maaf, saya memang cenderung mengabaikan foto profil yang tersemat di akun Kompasiana para Kompasianer), saya juga menjadi tahu asal daerah beberapa Kompasianer.
Saya juga suka mengamati nama, baik nama pena maupun nama asli. Terkhusus nama yang mengandung kekhasan daerah atau agama tertentu. Mengapa? Sebab nama-nama tersebut unik sekaligus menyadarkan bahwa Indonesia itu luas dan majemuk. Sungguh menarik. Iya. Saya memang hobi mengamati nama orang.
Dari beberapa tulisan saya menjadi paham pencapaian Pak Tjip dan istri di Kompasiana. Dari "testimoni" para Kompasianer yang pernah berjumpa langsung, saya jadi tahu karakter asli beliau berdua. Demikian pula, saya menjadi tahu bahwa Bu Lina mempunyai daftar nama para Kompasianer. Warbyasak! Â
Syukurlah saya bisa ikut berkontribusi di 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi. Jadi, saya bisa tahu/mengenal lebih dekat siapa saja kawan-kawan nongkrong di Kompasiana. Semoga bisa makin sayang kepada mereka. Anda sekalian. Bukankah tak kenal maka tak sayang?
Terima kasih banyak, Pak Tjip, Bu Lina. Panjenengan berdua telah memfasilitasi kami untuk lebih saling mengenal. Â Â
***
Saya juga bersyukur, sejauh ini masih dapat dilabeli sebagai Kompasianer aktif (setelah tidur panjang). Minimal tulisan ini dapat dijadikan bukti. Iya 'kan? Hehehe .... Semoga saya konsisten hingga nanti, nanti, dan nanti. Jadi, label Kompasianer yang melekat pada diri ini tak sekadar label kosong.
Salam.