"Alhamdulillah. Horeee! Horeee! Terima kasih, Pak Jokowi. Terima kasih bangeeet. Pak Jokowi kereeen. Hahahaha! Horeee .... Akhirnya enggak jadi UN! Doaku terkabul. Â Alhamdulillah. Cita-citaku kesampaian. Horeee! Aku enggak stres lagiiii. YES."
Demikian ekspresi kegembiraan Adiba, putri semata wayang saya, setahun lalu. Tepat sesaat setelah Presiden Jokowi, Â pada tanggal 24 Maret 2020 dalam rapat terbatas, menyatakan UN 2020 resmi ditiadakan sebab adanya pandemi Covid-19.
Saya masih sangat ingat betul tingkah kocaknya tatkala itu. Berteriak-teriak dan jejingkrakan di samping radio zadoel kami. Senyumannya melebar. Matanya berbinar jenaka. Kelegaan jelas terpancar dari wajahnya. Malah pakai acara koprol-koprol segala.
Saat itu saya hanya senyum-senyum melihat tingkahnya. Tentu sembari berkomentar dalam hati, "Dramatik. Dasar bocah alay."Â
Namun, lama-kelamaan tawa saya meledak sebab tersadarkan oleh sesuatu. "Ooo. Rupanya selama ini kamu stres? Kok enggak bilang-bilang? Hahaha!"Â
"Duuuh, Bundaaa. Bunda memang kurang sensitif. Anaknya stres gara-gara mau UN kok malah enggak ngerti?" sahut Adiba.
"Kenapa stres? 'Kan apa pun hasil ujianmu, Bunda selalu santuy."
"Takut nilai IPA dan Matematika jeleeek. Aku kesusahan banget dua pelajaran itu. Padahal, maunya ndaftar di SMK Multimedia."Â
"Lah? Dulu ditawari les enggak mau?" komentar saya.
"Aku 'kan males pergi les. Pulang sekolah maunya istirahat. Enggak maulah keluar rumah lagi. Otakku juga lelah."
"Hih! Memang banyak alasan."
"Tenang, Bunda. Sekarang nasibku sudah jelas. Sudah diselamatkan corona. Hahaha!"
Eh? Saya tertegun mendengar celotehan si bocah. Corona kenyataannya memang bikin panik. Terlebih pada awal masa pandemi setahun lalu, saat orang-orang masih syok dengan kemunculannya.Â
Akan tetapi, tepat di depan mata saya, ada seorang mantan pejuang UN SMP yang merasa telah diselamatkan corona. Ini pun sebuah kenyataan. Yeah? Hidup memang beraneka macam warnanya.
....
Beberapa hari kemudian seorang kawan berkirim pesan WA. Ia bercerita tentang keponakannya yang seusia Adiba, sesama mantan pejuang UN SMP.Â
Bertolak belakang dengan Adiba, si keponakan justru merasa sangat kecewa sebab UN ditiadakan. Bocah yang hobi belajar (baca buku pelajaran) tersebut kecewa sebab proses belajar kerasnya demi UN mesti terhenti mendadak.Â
Seriusan kecewa? Tanya saya kurang yakin.Â
Beneran, Mbak. Target dia kan meraih nilai UN tertinggi di sekolah. Kalau UN ditiadakan, berarti cita-citanya tak tercapai.
Masyaallah. Bedanya sejauh bumi dan langit dengan anakku.Â
Aku juga takjub. Kok bisa-bisanya keponakanku hobi belajar. Pasti itu bukan dari gen keluargaku. Itu pasti dari gen keluarga ibunya. Hehehe ....
Kami pun ngakak bareng secara daring.
Demikianlah adanya. Hidup acap kali kontradiktif. Ada yang bahagia karena UN dihapus. Ada pula yang kecewa berat karenanya. Kalau dipikir-pikir secara serius dan mendalam, sungguh lucu adanya.
Hmm. Pemerintah pasti tidak tahu akan hal-hal retjeh begini. Namun kalau diberi tahu, saya yakin Presiden Jokowi dan Mas Menteri Nadiem bakalan tertawa dengan respons Adiba. Sebaliknya, mereka akan berempati-bersimpati dengan respons keponakan kawan saya.
Rakyat Anda memang bermacam-macam perangainya, Pak.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H