Maklumlah. Para pengorder tatkala itu main ambil sendiri. Tidak sabaran menunggu dilayani penjual. Terlebih mereka merasa dimudahkan sebab pada tiap paketan opor dan lontong tercantum nama si pengorder. Nah! Sudah diberi nama segala, lho. Kok bisa katut?
Kiranya inilah yang disebut ujian pada hari kemenangan. Yeah? Bolehlah disebut musibah konyol di penghujung Ramadan.Â
Sebagai pemenang yang berhasil berpuasa sebulan penuh (meskipun mungkin baru dalam tataran puasa lahir belaka), saya berusaha tidak kesal. Duh, Gusti Allah kadangkala memang sebercanda itu kalau memberikan ujian.Â
.... Â Â
Setelah ditunggu-tunggu hingga Magrib tak ada orang yang mengembalikan kelebihan opor ayam yang dibawanya, setelah berkali-kali meminta maaf kepada saya, si penjual kemudian hendak mengembalikan uang saya.
Namun, saya tolak. Mengapa? Karena pada detik itu yang saya butuhkan lauk. Untuk menemani si lontong. Maka saya minta diganti lauk apa pun yang dijualnya. Apesnya lagi, Â lauk jualannya nyaris tak tersisa. Yang tersisa pun kurang nyambung sebagai teman makan lontong.Â
Alhasil, saya mesti meminta maaf kepada anak sebab dengan amat terpaksa menu Lebaran kami pada tahun ini lumayan ajaib: lontong dan sop bola-bola ayam! Â
Teruslah ikhlas dan bersemangat, wahai diriku. Opor hilang bisa diganti sop bola-bola ayam. Yang terpenting api motivasi dalam hati tak ikut-ikutan hilang.
Selamat Idulfitri 1442 H, tanpa ataupun dengan opor ayam.
Salam kemenangan atas hawa nafsu!