Alhasil, setelah muter-muter kota cari warung lain dan ternyata kompakan sudah tutup semua, pulanglah kami. Mampir swalayan beli mi instan dan kemudian berbuka dengan mi instan tersebut. Parah memang. Orang lain menikmati hidangan hari raya, sedangkan kami menikmati hidangan tanggung bulan.
Sejak saat itu tiap jelang Lebaran, fokus saya bukan lagi berbelanja kebutuhan sekunder seperti baju dan pernak-pernik lain. Terlebih baju Lebaran untuk anak sudah biasanya sudah dibeli sejak sebelum Ramadan.
Dekat-dekat ke hari Lebaran saya justru mendata ketersediaan bahan pangan pokok dan bumbu di dapur. Terutama kalau bumbu itu bernama garam. Wah, super gawat kalau stok garam benar-benar tak ada di dapur. Bukankah garam adalah koentjie? Sementara toko kelontong dekat rumah masih tutup (libur Lebaran).
Oh, bukan. Saya tak sedang mempersiapkan diri untuk masak besar dalam rangka menyongsong Lebaran. Saya belum "seinsyaf" itu sebagai ibu rumah tangga. Hanya sedang berjaga-jaga agar tak terjadi keolengan stabilitas stok bahan pangan di rumah. Muehehehe .... Kasihan anak-anak kalau sampai hal itu terjadi.
Praktisnya sih sebenarnya malah makan di warung saja. Akan tetapi, warung-warung makannya masih tutup. Agak ribet memang.
Maka kembali ke judul, inilah 3 belanjaan yang wajib saya beli sebelum Lebaran.
Dua, bahan sembako selain beras. Misalnya minyak goreng, kecap, mi instan, kopi, susu, teh, gula pasir, dan abon (lauk kering lainnya).
Tiga, lauk olahan beku (frozen food) Â Â
Adapun tahun lalu dan tahun ini saya tambahi stok buah dan sayur secukupnya karena kami tidak mudik.
Belanjaan kami jelang Lebaran memang terdiri atas kebutuhan primer belaka. Alasannya jelas 'kan ya? Sebab kebutuhan primer adalah kebutuhan yang berkaitan dengan strategi mempertahankan hidup secara layak. Kebutuhan ini mendasar dan harus dipenuhi manusia. Kalau diabaikan, bisa-bisa kami rentan terserang penyakit dong. Malah jadi enggak asyik sama sekali kalau saat hari raya kami malah lemas enggak sehat.