Lokasi Masjid Gedhe Kauman di tengah pusaran destinasi wisata popular. Berada di tengah-tengah antara Malioboro beserta Titik Nolnya dan Kraton Yogyakarta. Dekat pula dengan Museum Sonobudoyo, Pemandian Tamansari, Plaza Ngasem, dan Kampung Wisata Kauman plus Makam Nyai Ahmad Dahlan.
Kondisi demikian mau tidak mau menyebabkan Masjid Gedhe Kauman menjadi tempat rehat andalan bagi kaum wisatawan. Terutama wisatawan domestik yang beragama Islam karena sembari rehat dapat melihat-lihat ke-heritage-an kompleks masjid ini, sekaligus menunaikan ibadah salat di tempat yang representatif. Â
Itulah sebabnya saya selalu mengajukan Masjid Gedhe Kauman sebagai tempat menyambut kedatangan kawan/kerabat dari luar kota. Ketimbang repot mencari tempat lain, lebih baik saya sambut mereka di situ. Lebih praktis dan efektif, apalagi kalau waktu mereka untuk bertemu saya tak banyak.
3. Tempat tenang untuk membaca bukuÂ
Membaca buku memang dapat dilakukan di mana saja. Akan tetapi, sesekali saya sengaja datang ke Masjid Gedhe Kauman untuk membaca buku. Tahu sendiri 'kan? Suasana masjid pasti relatif tenang. Meskipun banyak orang yang rehat di serambinya, bahkan sesekali sambil mengobrol juga, volume suara mereka tetap terkendali. Yang berarti tetap kondusif untuk membaca, bahkan menulis. Jadi, saya merasa ada teman namun aktivitas membaca tak terganggu.
Â
4. Merupakan cagar budayaÂ
Masjid Gedhe Kauman merupakan salah satu simbol peradaban Islam Kraton Yogyakarta. Secara simbolis menunjukkan bahwa Sultan tidak hanya menjadi penguasa pemerintahan (senapati ing ngalaga), tapi juga berperan sebagai wakil Allah (sayidin panatagama khalifatullah) di dunia dan menjadi pemimpin keagamaan (panatagama) di Kasultanan.
Masjid Gedhe Kauman dibangun tahun 1775, semasa Sultan Hamengku Buwana I berkuasa. Arsiteknya Kanjeng Tumenggung Wiryokusumo. Adapun penghulu pertamanya Kiai Faqih Ibrahim Diponingrat.
Atap bertumpang tiga itu merupakan simbol dari iman-islam-ihsan, sedangkan atap tumpang yang menyatu di satu titik melambangkan keesaan Allah SWT.