Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Empat Tradisi Ramadan Khas Kauman yang Saya Rindukan

16 April 2021   20:20 Diperbarui: 16 April 2021   20:28 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langgar Adzdzakirin/Dokpri

Silakan berselancar di internet. Ketik kata kunci "Kauman" atau "pasar tiban ramadan" atau kata kunci lain yang sejenis. Pasti akan bermunculan aneka informasi dan ulasan tentang Pasar Tiban Ramadan di Kauman, Ngupasan, Yogyakarta.

Pastinya pula Anda bakalan menjumpai foto kicak berseliweran. Kicak yang saya maksudkan di sini kicak khas Kauman lho, ya. Yang dibuat dari beras ketan. Bukan kicak yang dibuat dari bahan lain dan berasal dari daerah lain.   

Mengapa bela-belain saya tegaskan perihal kicak? Sebab kicak merupakan komoditi yang paling dicari oleh para pengunjung Pasar Tiban Kauman yang legendaris itu. Terutama kicak Mbah Wono.

Demikianlah adanya. Kicak Mbah Wana dan Pasar Tiban Kauman lambat-laun bertumbuh menjadi paket wisata tersendiri di Kota Yogyakarta. Yang menjadi destinasi wisata kuliner menarik selama Ramadan. Tak heran kalau banyak yang merindukannya dengan berbagai alasan.

Namun sepertinya, mayoritas orang cuma rindu pada pasar tiban dan kicak. Sementara di Kauman ada beberapa hal lain yang menarik selama Ramadan. Yang pastinya sangat dirindukan oleh warga setempat termasuk saya. Terlebih sudah dua periode Ramadan (yakni tahun 2020 dan 2021) atmosfer khas Ramadan tersebut dirampas corona.

Iya. Siapa yang menyangka kalau ternyata kami mesti kehilangan tradisi khas Kauman saat Ramadan? Aneh cenderung hambar rasanya. Terlebih saat Ramadan tahun lalu. Rasa aneh itu terasa demikian kental. Kalau sekarang sih sudah lumayan beradaptasi. Tahun lalu 'kan kami telah mengalaminya.

Lalu, apa saja tradisi khas Kauman saat Ramadan? Saya mencatatnya ada empat. Mari simak penjelasan berikut.  

(1) Pasar Tiban Legendaris

Empat tahun lalu, hal yang paling bikin saya antusias untuk pindah ke Kauman adalah Pasar Tiban Ramadannya. Betapa tidak? Di pasar tiban tersebut dijual aneka rupa lauk, sayur, kudapan, dan minuman. Mulai dari genre kekunoan hingga genre kekinian tersedia di situ. Bukankah itu surga bagi saya yang bawaannya super lemas kalau berpuasa, padahal punya kewajiban menyiapkan hidangan berbuka untuk keluarga?

Akan tetapi, sejak Ramadan 2020 lalu pasar tiban ini diliburkan. Sebuah keputusan yang dapat dimaklumi karena para pengunjung pasti akan kesulitan menjaga jarak. Lokasi pasarnya saja di gang yang lebarnya kurang lebih 2 meter. Otomatis dengan liburnya pasar tiban, keramaian siang sampai jelang waktu berbuka tak terjadi. Kampung yang sehari-hari sepi pun tetap sepi.

Menggemaskan juga, sih. Dahulu sebelum tinggal di Kauman saya jauh-jauh datang hanya untuk jajan di pasar tibannya. Kini saat berdomisili di gang yang sama dengan si pasar tiban, eh, corona malah meliburkannya. Hampa jadinya hati saya tuuuh. Eh? Mungkin hati para penjual di pasar tiban malah lebih hampa, ya?

(2) Masjid Gede yang Tak Pernah Sepi

Pada kondisi normal Masjid Gede Kauman yang disebut juga Masjid Kraton selalu ramai. Banyak orang termasuk wisatawan yang singgah untuk menunaikan ibadah sekaligus  beristirahat. Wisatawan mancanegara yang nonmuslim pun ada yang berkunjung dengan syarat dan ketentuan berlaku. Masjid Gede Kauman memang salah satu situs bersejarah,

Selama Ramadan tentu kian ramai. Tiap sore ada pengajian jelang buka puasa dilanjut buka bersama, kemudian disambung salat Magrib serta salat Isya dan tarawih berjamaah. Bahkan, ada dua sesi tarawihnya. Setelahnya masih ada tadarusan bersama. Rehat malam sebentar, lalu dilanjut Subuhan dan pengajian selepas Subuh. Yang hadir banyak sekali dan berasal dari berbagai tempat. Tidak terbatas warga Kauman saja.  

Namun, sejak corona menyerang suasana Ramadan di Masjid Gede Kauman berbeda. Mendadak sunyi sesunyi hati yang sepi. Tahun lalu masjid bahkan ditutup. Hanya takmir yang boleh masuk untuk bersih-bersih dan mengumandangkan azan tiap waktu salat tiba. Tahun ini lumayan. Sudah ada salat berjamaah termasuk salat tarawih, tetapi jamaahnya terbatas warga sekitar. Tarawihnya pun hanya diselenggarakan satu sesi dengan bacaan surah-surah pendek. Biasanya 'kan ada tarawih yang bacaannya satu juz.

Kondisi demikian tentu menyebabkan suasana Kauman tak sesemarak Ramadan tahun-tahun silam. Tentu saya dan warga lain rindu kesemarakan itu. Terlebih Masjid Gede Kauman merupakan meeting point kalau saya hendak ketemuan dengan kawan yang ingin merasakan buka puasa di masjid bersejarah tersebut. Jangan lupa. Masjid Gede Kauman adalah salah satu masjid di Yogyakarta yang konon menu takjilnya enak-enak. Hehehe .... 

(3) Langgar/Musala dan Tempat Tarawih Lain yang Meriah

Masjid Gede bukan satu-satunya tempat beribadah warga Kauman. Di berbagai penjuru kampung masih ada Langgar Makmur, Langgar Arrosyad, dan Musala Aisiyah. Ketika Ramadan tiba, ketiganya tak kalah semarak dari Masjid Gede. Mulai dari siang hingga selepas tarawih selalu ramai aktivitas. Hanya saja jamaahnya khusus warga Kauman. Berhubung Ramadan 2021 masih pandemi, ketiganya pun minim kegiatan.

O, ya. Pada Ramadan normal masih ada tempat tarawih lain, yaitu Langgar Adzdzakirin dan Balai RW. Yang Balai RW khusus untuk anak-anak. Namun, selama dua kali Ramadan pandemi keduanya tidak menyelenggarakan aktivitas apa pun. Alhasil, saya juga rindu melihat anak-anak hilir mudik berbusana santri hendak mengaji.

Musala Aisiyah Sebelum Pandemi/Dokpri
Musala Aisiyah Sebelum Pandemi/Dokpri
(4) Jalanan Kampung yang Menjadi Hidup

Orang dari luar Kauman yang berlalu lalang menuju Masjid Gede dan Pasar Tiban Ramadan menjadi kemeriahan tersendiri. Kampung yang biasa tenang menjadi sumringah. Hidup. Kondisi jalanan sempitnya menjadi jauh lebih ramai. Semangat Ramadan pun amat terasa di mana-mana.

Bagaimana dengan sekarang? Jangan tanya lagi. Corona tanpa ampun telah membuatnya lengang. Seperti Ramadan tahun lalu, situasi hanya lumayan berdenyut ketika sore hari. Saat saya dan para tetangga mengambil jatah menu buka puasa di teras Langgar Adzdzakirin. Iya. Pada saat itulah kami dapat sesaat saling bertegur sapa meskipun kadangkala keliru sapa gara-gara wajah tertutup masker.

***

Itulah empat tradisi khas Ramadan yang saya rindukan. Meskipun tidak dirugikan secara material seperti para penjual di pasar tiban, yang mendadak kehilangan pemasukan sebab corona, rasanya kok saya tetap menderita kerugian nonmaterial.  

Apa boleh buat? Menanggungkan rindu memang berat. Semoga Ramadan tahun depan kerinduan saya itu bisa terlunaskan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun