Imlek kerap kali menghadirkan hal-hal tak terlupakan bagiku. Istimewa. Bahkan, ada satu Imlek yang kadar istimewanya plus-plus sebab mendatangkan keuntungan finansial besar. Tentunya besar versiku lho, ya. Bukan versi kaum kaya raya yang terbiasa memegang duit miliaran.
Aku benar-benar berdarah Jawa. Murni dalam tubuhku, hanya mengalir darah Jawa, terkhusus Jawa Tengah bagian pantura. Namun sejak kecil, entah mengapaSampai di sini, Anda sekalian pasti mulai penasaran. Kiranya apa saja hal-hal istimewa tersebut? Apakah berupa pernyataan-pernyataan cinta dari para lelaki berwajah oriental? Hmm. Iya, benar. Memang benar mauku begitu. Hanya saja, faktanya tidak demikian. Yeah ....
Baiklah. Ketimbang penasaran berlama-lama, mari langsung simak "catatanku" berikut ini. Semoga dapat menghibur. Syukur-syukur sekaligus bisa menginspirasi walaupun sesedikit apa kadar inspirasinya.
Kue Keranjang dan Koh UntungÂ
Bagiku, kue keranjang (selain identik dengan Imlek) identik dengan Koh Untung. Maklumlah. Karena beliau, aku jadi tahu bahwa di dunia ini ada yang namanya kue keranjang. Bahkan sesungguhnya, aku tahu ada yang namanya Imlek juga gara-gara kue keranjang yang rutin tiap tahun dibagikannya itu. Â
Sebenarnya di desaku ada beberapa keluarga keturunan Tionghoa. Namun, kue keranjang hanya kuperoleh dari Koh Untung. Alhasil, yang terpatri di benakku sampai sekarang: ingat Imlek, ingat kue keranjang, ingat Koh Untung yang baik hati (yang kini telah almarhum).
Yup! Kesan baik hati dan suka berbagi kue keranjang itulah yang di kemudian hari, ternyata memengaruhi relasiku dengan kawan-kawan Tionghoa. Aku tak pernah memberikan stigma kepada mereka. Hmm. Keren 'kan masa kanak-kanakku? Â Â
Anjing Pak DokterÂ
Pada Imlek puluhan tahun silam, tatkala sendirian mengudap kue keranjang pemberian Koh Untung di luar rumah, pandangan mataku terbentur pada seekor anjing kecil berbulu putih. Aku yang biasanya cuma melihat gambarnya di koran/majalah, merasa amat kepo. Bolak-balik kupandangi makhluk itu sambil sesekali melompat-lompat.
Tak disangka, anjing itu tiba-tiba mendekat dan ikut melompat-lompat. Aku kaget, lalu spontan berlari sebab takut digigit. Eh, malah dikejar. Makin kencang kuberlari, makin kencang si anjing mengejar. Apesnya, baru kurang lebih seperempat jam nasibku tertolong. Tertolongnya pun gara-gara Pak Dokter mencari-cari si anjing. Ah! Rupanya anjing itu milik Pak Dokter yang baru seminggu bertugas di desa kami.
Sungguh pengalaman konyol. Menyebalkan, tetapi menambah wawasanku tentang dunia peranjingan. Tentu sekaligus menyemai benih ketakutanku pada anjing kecil. Â