Sebuah kisah tentang menemukan tujuan,
ke mana hendak pergi,
melalui kenangan demi kenangan masa lalu,
pertarungan hidup-mati,
untuk memutuskan ke mana langkah kaki akan dibawa.
Pergi.
SEDERET kalimat di atas tercantum di halaman belakang novel Pergi karya Tere Liye. Hmm. Terkesan filosofis dan semiotis. Demikian gumam saya spontan, dalam hati, tatkala membaca deretan kalimat tersebut.
Kemudian pada detik selanjutnya, saya terperangkap rasa heran dan penasaran.
 Mengapa heran? Mengapa penasaran? Sebab selama ini---saya yang relatif awam dengan karya Tere Liye---ternyata telah terprovokasi. Yakni terprovokasi aneka komentar bernada nyinyiran mengenai karya-karyanya.
Iya. Saya akui, selama ini saya cenderung ikut percaya bahwa karya-karya Tere Liye hanya cocok untuk kaum ABG alay.
Kebetulan pula aneka kutipan dari karya-karyanya, yang mampir di linimasa Facebook saya, semua bernada syahdu merdu merayu.
Jadi wajar 'kan, bila kemudian saya meyakini bahwa semua novelnya menye-menye habis? Maklumlah. Sejujurnya saya memang bukan pembaca (apalagi penggemar) karya-karya Tere Liye.
Maka begitu menemukan Pergi dan membaca sampul belakangnya, saya penasaran bin heran. Benarkah isi bukunya seserius kutipan di sampulnya? Jangan-jangan isi bukunya ternyata menye-menye? Bisa dibaca sambil lalu saja tanpa perlu konsentrasi tinggi? Demikian saya membatin sebelum memutuskan untuk membaca buku tersebut.
Dan faktanya, Pergi sama sekali tidak menye-menye. Justru sebaliknya, menceritakan sesuatu yang amat serius. Yakni lika-liku kehidupan para penguasa shadow economy dunia. Mulai dari persekongkolan hingga perseteruan di antara para penguasa shadow economy tersebut.
Bahkan komplet dengan aneka trik dalam mengelabui khalayak umum, jika suatu ketika terjadi peperangan terbuka di antara  mereka. Â
Tiap-tiap tim keluarga shadow economy mampu bekerja secepat dan serapi mungkin demi menghapus jejak peperangan.