Seorang kawan tiba-tiba berkirim pesan WA.Â
"Mau ikut, enggak? Kami hendak naik sepur hijau."
Membaca pesan tersebut, dahi saya spontan berkerenyit. Apa itu sepur hijau?Â
Belum sempat saya mengetikkan sebuah pertanyaan sebagai respons, kawan tersebut sudah kembali berkirim pesan. Kali ini tanpa kata tanpa kalimat. Hanya berupa foto sebuah poster.Â
Lagi-lagi kawan saya berkirim pesan WA. "Gimana? Mau ikut atau tidak? Kita rencana pergi Ahad nanti. Hari terakhir Rp0,00"
Tak perlu menunggu lama, langsung saya mengiyakan. PT KAI sudah berbaik hati memberikan kesempatan untuk icip-icip armada terbarunya. Secara cuma-cuma. Jadi, mengapa tawaran asyik itu mesti diabaikan?Â
Alhasil pada tanggal 20 Mei 2018, selepas zuhur, saya dan kawan-kawan sudah narsis manis di salah satu gerbong Solo Ekspres. Oya. Kami naik dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, sekitar pukul setengah satu siang.Â
Oya. Meskipun berbiaya Rp 0,00, prosedur pengecekan tiket tetap dilakukan. Hmm. Penasaran saya jadinya. Andai tak bisa menunjukkan tiket, apa serta-merta akan diturunkan di stasiun berikut? Walaupun statusnya sebagai penumpang icip-icip?Â
Sudah pasti kami tak melulu terpaku pada keempukan kursi si hijau. Mumpung segalanya kondusif, eksplorasi dan swafoto pun kami lakukan maksimal. Hingga ke dalam toilet sekali pun. Terlebih kereta melaju dengan stabil. Getaran mesinnya nyaris tak terasa tak terdengar.
Terkait dengan harga tiket, rasanya Solo Ekspres ini kurang cocok untuk para penglaju, yang tiap hari pulang pergi Solo-Yogyakarta. Dengan kata lain, amat berat di ongkos. Maka tak dapat sering dipakai sebagai alternatif pengganti Prameks. Kalau sesekali sih, misalnya sebab mengejar waktu, bolehlah.