Selain itu mengingatkan bahwa hidup tak selalu berjalan mulus bagai jalan tol. Atau sebaliknya, tak melulu berjalan tersendat-sendat. Namun apa pun kondisinya, pastilah tetap ada hal yang dapat dinikmati. Sebab pada dasarnya, hidup memang tak pernah terdiri atas satu warna.
Aih! Mungkin saja tafsiran saya kurang tepat. Maklumlah. Saya 'kan awam seni. Tapi saya tahu bahwa Bung Apri tidak akan memarahi saya. Toh saya merasa bahagia memandangi keindahan rangkaian roda-roda keramiknya dari tepian kolam. Terlebih saya ingat betul, Bung Apri pernah bilang begini, "Orang senang dengan keindahan karya saya saja, itu sudah cukup ...."
Puisi Bantal Metal
Tak usah buru-buru berlalu bila hendak memasuki hotel. Tepat di pintu masuk hotel, tengoklah dahulu ratusan bantal metal yang menjulang tinggi ke angkasa. Iya. Saya bilang menjulang sebab tingginya mencapai 7 meter. Perhatikanlah dengan seksama. Nikmatilah tiap lekuk keindahan dan keeleganan warnanya.
Mungkin Anda mengira bahwa Dery Pratama, sang seniman, pandai meramu cat dan bahan kimia tertentu untuk mewarnainya. Padahal, perkiraan itu sungguh tak benar. Anda mesti percaya bahwa semua bantal metal tersebut dibuat tanpa cat dan bahan kimia.
Sedikit bocoran nih, ya. Efek keren yang ada pada bantal metal itu bahkan dibuat dengan media minyak goreng. Bantal metal diolesi dengan minyak goreng, lalu dibakar pada sisi bagian belakangnya. Jilatan lidah apinyalah yang meliuk-liuk liar menciptakan efek pewarnaan yang keren. Idenya unik sekali, ya?
Instalasi seni yang menjulang tinggi ini merupakan respons sang seniman terhadap munculnya bangunan-bangunan super tinggi. Yang kenyataannya, bangunan-bangunan super tinggi tersebut dibangun secara asal-asalan. Alhasil masyarakat Jogja, terutama dari strata sosial ekonomi menengah ke bawah, menerima dampak buruknya belaka.
Aih! Rupanya keindahan instalasi seni yang satu ini serupa dengan puisi. Iya, puisi. Bukankah puisi ibarat tepukan di pundak, yang tujuannya untuk mengingatkan?Â
Filosofi Umbi Kawat
Konon semua bermula dari kesukaan Bung Ludira Yudha mencabuti rerumputan. Lalu, akar-akar dan umbi-umbian dari rerumputan yang dicabutnya itu dicermati baik-baik. Nah. Berawal dari pencermatan tersebut, segenap pemikiran filosofis mengenai akar dan umbi-umbian pun dihimpunnya.