Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlunya Kehadiran Sekolah Vokasi untuk Penyandang Autis dan ABK Lainnya

25 Oktober 2017   14:18 Diperbarui: 25 Oktober 2017   16:22 2105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: regional.kompas.com

Dua kali Kompasianer Jogja mengadakan Dolan Sosial, yakni ke salah satu SLB dan salah satu yayasan untuk anak-anak "istimewa" yang berada di wilayah Jogjakarta. Dan sayangnya, dua kali pula saya tak berkesempatan ikut. Apa boleh buat? Takdirnya begitu.

Namun, bukan berarti saya sama sekali tak pernah terlibat (berinteraksi langsung) dengan anak-anak "istimewa" atau ABK. Kebetulan sebelum berdomisili di dekat titik nol Jogja, saya tinggal di sebuah desa yang beberapa warganya punya anak ABK dan bersekolah di SLB. Maka sedikit banyak saya jadi punya perhatian lebih terhadap eksistensi mereka. Paling tidak, saya tersadarkan bahwa mereka ada di sekeliling kita dan menjadi dari kehidupan kita.

Iya. Anda sekalian mesti sadar bahwa sekian persen dari anak-anak dan kaum remaja Indonesia merupakan mereka yang berkebutuhan khusus (biasa disebut ABK = Anak Berkebutuhan Khusus). Karena berlabel ABK itulah, perlakuan terhadap mereka pun idealnya khusus. Berbeda dengan perlakuan terhadap anak-anak dan kaum remaja yang dikategorikan "normal".

Jangankan dengan anak-anak dan kaum remaja yang dikategorikan "normal". Dengan sesama ABK namun beda kasus, perlakuan yang diberikan pun tidak boleh begitu saja dipersamakan. Masing-masing ada caranya tersendiri. Sesuai dengan kebutuhan ABK yang bersangkutan.

Akan tetapi amat patut disayangkan bahwa faktanya, perlakuan terhadap ABK acap kali kurang tepat. Tidak efektif. Tidak sesuai dengan apa yang sebetulnya paling dibutuhkan oleh ABK yang bersangkutan. Termasuk dalam hal pemberian pendidikan dan keterampilan hidup (life skill).

Hingga saat ini, sejauh pencermatan saya, pemberian pendidikan kepada ABK masih cenderung di-gebyah uyah. Asal disekolahkan di SLB apa pun kasusnya. Padahal kenyataannya, tidak semua ABK terpenuhi kebutuhan pendidikannya di SLB.

Terkhusus untuk anak penyandang autisme. Kiranya kurang bijaksana untuk menyekolahkan penyandang autis di SLB. Mengapa? Sebab SLB kurang mampu mengakomodasi kebutuhan belajar mereka. Faktanya, banyak penyandang autis yang punya kemampuan otak di atas rata-rata siswa SLB. Bahkan, ada pula yang kemampuan otaknya melebihi anak-anak yang bersekolah di sekolah normal.

Dalam hal yang umum-umum mungkin SLB masih dapat menjadi solusi. Namun untuk solusi jitu, SLB tentu bukan wadah yang akurat. Sementara menyekolahkan anak-anak autis di sekolah umum, sudah pasti merupakan langkah yang juga kurang tepat. Jelas-jelas mereka berkebutuhan khusus, mengapa dipaksakan masuk ke sekolah yang umum (normal)?

Meskipun sekolah umum yang bersangkutan menyelenggarakan kelas insklusi, tetap saja anak-anak autis bakalan kurang terfasilitasi. Jangan lupa. Di kelas insklusi tersebut ABK-nya sangat mungkin terdiri atas beraneka macam kasus. Dan, rasanya tidak mungkin penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajarnya dapat dibikin sedetil mungkin per kasus keistimewaan masing-masing.

Lagi pula, sama halnya dengan SLB, pendidikan yang diberikan bisa cenderung teoretis-normatif. Kondisi demikian tentu dapat dimaklumi bila mengingat bahwa sekolah inklusi yang bersangkutan memang pada dastanya merupakan sekolah umum. Tidak didesain khusus untuk menjadi solusi bagi ABK, terkhusus yang autis.

Begitulah adanya keadaan di negeri kita ini. Tunas-tunas bangsa penyandang autisme sungguh-sungguh butuh pendidikan yang benar. Yang tepat-guna, sesuai dengan kondisi diri mereka masing-masing. Demi kemandirian di masa depan saat kelak mereka dewasa. Namun apa daya, sejauh ini di Indonesia belum banyak (bahkan mungkin belum ada) sekolah khusus yang betul-betul mampu memfasilitasi-mengakomodasi mereka. Padahal sebenarnya, inti dari pendidikan untuk mereka adalah membangun kemandirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun