Dua kali Kompasianer Jogja mengadakan Dolan Sosial, yakni ke salah satu SLB dan salah satu yayasan untuk anak-anak "istimewa" yang berada di wilayah Jogjakarta. Dan sayangnya, dua kali pula saya tak berkesempatan ikut. Apa boleh buat? Takdirnya begitu.
Namun, bukan berarti saya sama sekali tak pernah terlibat (berinteraksi langsung) dengan anak-anak "istimewa" atau ABK. Kebetulan sebelum berdomisili di dekat titik nol Jogja, saya tinggal di sebuah desa yang beberapa warganya punya anak ABK dan bersekolah di SLB. Maka sedikit banyak saya jadi punya perhatian lebih terhadap eksistensi mereka. Paling tidak, saya tersadarkan bahwa mereka ada di sekeliling kita dan menjadi dari kehidupan kita.
Iya. Anda sekalian mesti sadar bahwa sekian persen dari anak-anak dan kaum remaja Indonesia merupakan mereka yang berkebutuhan khusus (biasa disebut ABK = Anak Berkebutuhan Khusus). Karena berlabel ABK itulah, perlakuan terhadap mereka pun idealnya khusus. Berbeda dengan perlakuan terhadap anak-anak dan kaum remaja yang dikategorikan "normal".
Jangankan dengan anak-anak dan kaum remaja yang dikategorikan "normal". Dengan sesama ABK namun beda kasus, perlakuan yang diberikan pun tidak boleh begitu saja dipersamakan. Masing-masing ada caranya tersendiri. Sesuai dengan kebutuhan ABK yang bersangkutan.
Akan tetapi amat patut disayangkan bahwa faktanya, perlakuan terhadap ABK acap kali kurang tepat. Tidak efektif. Tidak sesuai dengan apa yang sebetulnya paling dibutuhkan oleh ABK yang bersangkutan. Termasuk dalam hal pemberian pendidikan dan keterampilan hidup (life skill).
Hingga saat ini, sejauh pencermatan saya, pemberian pendidikan kepada ABK masih cenderung di-gebyah uyah. Asal disekolahkan di SLB apa pun kasusnya. Padahal kenyataannya, tidak semua ABK terpenuhi kebutuhan pendidikannya di SLB.
Terkhusus untuk anak penyandang autisme. Kiranya kurang bijaksana untuk menyekolahkan penyandang autis di SLB. Mengapa? Sebab SLB kurang mampu mengakomodasi kebutuhan belajar mereka. Faktanya, banyak penyandang autis yang punya kemampuan otak di atas rata-rata siswa SLB. Bahkan, ada pula yang kemampuan otaknya melebihi anak-anak yang bersekolah di sekolah normal.
Dalam hal yang umum-umum mungkin SLB masih dapat menjadi solusi. Namun untuk solusi jitu, SLB tentu bukan wadah yang akurat. Sementara menyekolahkan anak-anak autis di sekolah umum, sudah pasti merupakan langkah yang juga kurang tepat. Jelas-jelas mereka berkebutuhan khusus, mengapa dipaksakan masuk ke sekolah yang umum (normal)?
Meskipun sekolah umum yang bersangkutan menyelenggarakan kelas insklusi, tetap saja anak-anak autis bakalan kurang terfasilitasi. Jangan lupa. Di kelas insklusi tersebut ABK-nya sangat mungkin terdiri atas beraneka macam kasus. Dan, rasanya tidak mungkin penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajarnya dapat dibikin sedetil mungkin per kasus keistimewaan masing-masing.
Lagi pula, sama halnya dengan SLB, pendidikan yang diberikan bisa cenderung teoretis-normatif. Kondisi demikian tentu dapat dimaklumi bila mengingat bahwa sekolah inklusi yang bersangkutan memang pada dastanya merupakan sekolah umum. Tidak didesain khusus untuk menjadi solusi bagi ABK, terkhusus yang autis.
Begitulah adanya keadaan di negeri kita ini. Tunas-tunas bangsa penyandang autisme sungguh-sungguh butuh pendidikan yang benar. Yang tepat-guna, sesuai dengan kondisi diri mereka masing-masing. Demi kemandirian di masa depan saat kelak mereka dewasa. Namun apa daya, sejauh ini di Indonesia belum banyak (bahkan mungkin belum ada) sekolah khusus yang betul-betul mampu memfasilitasi-mengakomodasi mereka. Padahal sebenarnya, inti dari pendidikan untuk mereka adalah membangun kemandirian.
Adapun mandiri di sini berarti mampu mengurusi dan menghidupi diri mereka sendiri. Mereka dapat melakukan hal-hal keseharian tanpa perlu bantuan orang lain. Misalnya mampu makan, berpakaian, dan ke kamar mandi sendiri; tidak perlu diurusi oleh orang lain.
Lebih dari itu, mereka juga mampu menghidupi diri sendiri. Bisa bekerja mencari uang sesuai dengan bidang keahliannya. Jadi, ongkos hidup mereka kelak tidak perlu ditanggung oleh orang lain. Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka bisa mandiri di masa nanti, bila pada masa sebelumnya tidak pernah dipersiapkan-diajari untuk mandiri?
Jujur saja. Selama ini anak-anak autis dan ABK masih kerap dipandang sebelah mata. Hanya dipahami sebagai parasit yang wajib ditolong dan disantuni. Alhasil hingga ujung usia mereka, anak-anak istimewa tersebut hidup dalam situasi ketergantungan pada lingkungan (orang-orang sekitarnya).
Padahal kalau dididik secara tepat dan potensi diri mereka dioptimalkan, mereka bakalan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Alih-alih menjadi parasit sejati. Dalam level yang terendah, mereka tidak akan merepotkan orang-orang di sekitarnya. Sementara dalam level tertinggi, mereka berkesempatan memberikan kontribusi positif untuk negeri. Tentu kontribusi yang berupa karya-karya spesifik mereka.
Jangan lupa, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Jumlah dan keberadaan mereka di seluruh Indonesia pun tak semestinya bisa diabaikan begitu saja. Jadi alangkah lebih baiknya, jika potensi terbaik dari keterbatasan mereka dimanfaatkan secara optimal.
Namun yang jadi kendala, orang tua dari anak-anak istimewa tersebut banyak yang belum peka. Kurang menyadari bahwa keistimewaan sang anak sebenarnya bukalah penghalang untuk membentuk sikap mandiri dan membangun akhlak mulia. Maka yang terjadi, banyak anak autis dan ABK pada umumnya yang dibiarkan berbuat semau gue, permisif, seolah-olah tunanorma agama dan norma kemasyarakatan lainnya, serta dimaklumi keparasitan mereka hingga akhir hayat.
Mengingat dan menimbang kondisi yang demikian itulah, kiranya perlu adanya sebuah sekolah atau lembaga khusus untuk menyiapkan mereka (anak-anak autis dan ABK pada umumnya) supaya mampu mandiri pada waktunya. Sekolah atau lembaga khusus itu tak sekadar mendidik secara teoretis-normatif. Tapi lebih dari itu, tujuan utamanya adalah mengasah life skill mereka. Sesuai dengan potensi, bakat, dan minat mereka. Dengan demikian pada waktunya nanti, mereka akan punya bekal kemandirian yang berupa ahlak mulia dan keterampilan untuk mencari uang sehingga mampu menghidupi dirinya sendiri.
Jangan salah paham soal mampu mencari uang. Mengajari mereka untuk mencari uang bukanlah mengajari mata duitan. Bukan pula mencegah para donatur untuk menyantuni mereka. Ini poin penekanannya adalah pada kemampuan untuk hidup mandiri. Oke? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H