MATAHARI siang itu amatlah terik. Panasnya membakar kulit tubuh dan wajah. Sungguh. Panas hari itu adalah panas yang terasa menyengat maksimal. Terlebih jika mengingat, hari-hari sebelumnya berselimut mendung melulu.
Bagiku, yang kerap pusing bila kelamaan terpapar sinar cetar matahari, cuaca yang seperti itu tentu jadi momok tersendiri. Mencegahku untuk beraktivitas luar ruangan. Bahkan sekadar untuk mengambil jemuran kering. Daripada pusing cuma gara-gara ambil jemuran, lebih baik duduk manis di dalam rumah. Maksimal nongkrong di teras depan. Jemuran sampai jadi keripik ya biarkan sajalah.
Itulah sebabnya aku amat takjub melihat Mbah Tukul yang sedari tadi sibuk di bawah panasnya sang mentari. Luar biasa. Berpanas-panas dan baik-baik saja. Padahal, usiaku jelas jauh lebih muda daripada beliau.
Lalu, apa yang dilakukan Mbah Tukul? Hmmm. Sedari tadi beliau kulihat sibuk menimbun stok bahan bakar. Oops! Jangan berpikiran buruk dulu. Beliau tidak sedang melakukan tindak kriminalitas, kok. Sebab bahan bakar yang ditimbunnya murni milik pribadi, plus sedikit tambahan dari milik tetangga sekitar. Itu pun sudah seizin para tetangga yang bersangkutan. Maka dijamin tak bakalan bikin kisruh. Tak akan bikin guncang stabilitas harga bahan bakar nasional.
Ya, tentu saja begitu. Bahan bakar yang sedang ditimbun Mbah Tukul bukanlah BBM (Bahan Bakar Minyak). Bukan bahan bakar yang berbahan dasar fosil, melainkan berbahan dasar limbah kayu serta limbah pohon dan buah kelapa. Tepatnya Mbah Tukul siang itu sedang sibuk menjemur potongan-potongan kayu dan serbuk kayu (hasil gergajian). Limbah kayu tersebut merupakan sisa bahan, yang tempo hari untuk merenovasi kandang ayam milik tetangga.Â
Selain limbah kayu, beliau juga menjemur aneka rupa bahan bakar lainnya. Ada reranting kecil pohon bambu (kami menyebutnya carang). Ada potongan dahan pohon yang tempo hari ditebang. Ada pula berbagai bagian dari pohon kelapa; mulai dari tempurung, sabut, hingga daun keringnya.
Saat tahu aku mengamatinya dari balik jendela kayu, beliau tertawa lebar. Lalu katanya, "Mumpung panas, Jeng. Semua ini dijemur supaya kemripik (artinya "seperti keripik" atau "kering betul"). Ben gampang nggo daden geni(Supaya mudah kalau untuk menyalakan api). Lumayan, Jeng. Bisa ngirit. Enggak usah keluar duit untuk beli gas."
Demi sebentuk kesopanan, saya bersiap merespons. Tapi belum juga saya sempat membuka mulut, Mbah Tukul melanjutkan bicara, "Lagi pula sekarang susah, Jeng. Gasnya makin mahal. Dicari juga makin sulit. Harus beli ke toko-toko yang jauh. Simbah ini 'kan jadi repot kalau mau beli. Tuh, sudah lama kompor gas Simbah nganggur."
Mendengar lanjutan curhatan tersebut, respons saya justru berupa senyuman lebar. Jangan salah sangka. Saya tak sedang bahagia di atas penderitaan Mbah Tukul. Senyuman lebar itu hanyalah kamuflase. Percayalah. Yang sesungguhnya terasa di hati saya adalah miris. Iya, miris sebab curhatan Mbah Tukul mengingatkan saya pada sesuatu yang rumit.
Sudah berulang kali Mbah Tukul curhat dengan tema serupa. Bahkan tak hanya beliau, hampir semua tetangga pernah curhat dengan tema serupa. Respons saya pun serupa. Yakni senyuman lebar. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin saya menjawab, "Tenang, Mbah. Kalau butuh gas melon, nanti saya belikan."
Saya toh tidak berlimpah uang dan waktu luang sehingga bisa menolongnya dengan cara heroik begitu. Mana mungkin saya mau mentraktir dan mencarikan gas melon yang kerap langka di pasaran? Lha wong saya sendiri tidak pernah membelinya, kok.