KENANGAN usang itu akhirnya benar-benar kupunguti. Ada yang terserak di sela-sela deretan pohon pinus. Ada yang tercecer di jalanan berkelok tajam. Ada pula yang tersangkut di antara dedaunan pohon kayu putih. Dan, semua masih utuh meskipun berselimut debu waktu ....
Metamorfosis Mangunan
Begitu turun dari bus dan menjejakkan kaki di bumi Mangunan, angin sejuk tipis-tipis langsung menerpa wajah. Sang angin seperti membisikkan sesuatu ala film AADC2, "Selamat datang lagi setelah ratusan purnama berlalu. Apa kabar? Lihatlah Mangunan yang tak lagi bergantung pada getah pinus ...."
Saya terpana memandangi sebuah rumah permanen di seberang sana. Antena parabola dan papan iklan thiwul ayu yang nangkring di atapnya merupakan item Mangunan kekinian. Sementara pepohonan hijau yang menjulang tinggi di belakangnya, seolah-olah menjadi pengingat akan eksistensi Mangunan tempo dulu. Tatkala gugusan hutan pinusnya masih sangat murni. Saat belum terjamah masyarakat digital.
Sebentar .... Ada iklan thiwul ayu, ya? Berarti sekarang thiwul telah menjadi suatu komoditi khas Mangunan. Itu luar biasa. Mengingat thiwul dahulunya hanya dikonsumsi oleh kalangan masyarakat lapisan bawah. Tentu ada proses panjang yang telah dilalui si thiwul sebelum eksistensinya semantap sekarang. Â Â
Lengkingan klakson sebuah mobil memekakkan telinga. Dan, sadarlah saya dengan apa yang terjadi. Kendaraan yang berlalu lalang di jalan itu lantang menyatakan bahwa Mangunan sekarang tak lagi sempat sepi. Bagaimana bisa sepi kalau tiap saat didatangi wisatawan? Baik yang langsung pulang maupun yang menginap di homestay-homestay yang langsung dikelola warga. Â
Tak dapat disangkal bahwa Mangunan sekarang makin beken. Kiranya inilah buah dari makin viralnya spot-spot foto, yang berlokasi di aneka kawasan wisata Mangunan. Jika makin viral, berarti makin banyak netizen yang tergoda untuk berkunjung. Alhasil selaku pengelola wisata, tingkat perekonomian warga Mangunan menjadi lebih tinggi daripada sebelumnya.Â
Mungkin banyak yang belum paham bahwa di masa lalu mayoritas warga Mangunan menggantungkan hidup dari bertani tumpang sari dan mendaras getah pinus. Bertahun-tahun, secara turun temurun. Hingga pada suatu titik, getah pinus tak lagi melimpah untuk didaras. Sebagai akibatnya, pendapatan pemda dan warga pendaras pun menurun. Itulah sebabnya pemda berinisiatif  mengajak warga untuk banting setir, untuk beralih menjadi pelaku industri wanawisata. Â
Tahun-tahun berjalan dan sebagai konsekuensinya, akan selalu terjadi perubahan. Sesuai dengan keadaan. Demikian pula halnya yang terjadi dengan warga Mangunan. Yang istimewa, paling tidak hingga sejauh ini, perubahan tersebut tak sampai mengurangi keramahtamahan warganya. Sikap mereka tetap bersahaja. Sama bersahaja dengan dulu, ketika saya datang dengan sebutan Mbak KKN.
Destinasi Wisata Pencerah Jiwa