BERUNTUNGLAH saya, pada tanggal 20 Agustus lalu, berkesempatan untuk mencuri. Mencuri? Iya, mencuri start (bukan mencuri hatimu). Start apa yang kucuri? Yakni start untuk mulai menonton film "Nyai Ahmad Dahlan". Kalau untuk umum 'kan baru mulai tayang di bioskop-bioskop pada tanggal 24 Agustus ini.
Kebetulan seorang teman, sesama alumni UGM, memberikan informasi mengenai acara nonton bareng (nobar) film ini. Ya, sudah. Saya langsung saja mendaftarkan diri sebagai peserta. Hitung-hitung reuni. O, ya. Penyelenggara acara nobar adalah Kagama Virtual dan Rumah Alumni.
Dari Jalan Nyai Ahmad Dahlan ke Nobar Film "Nyai Ahmad Dahlan"
Karena acara nobar dimulai pada pukul 09.00 WIB dan berlokasi di Empire XXI, yang lumayan jauh dari rumah, Â otomatis saya sudah bersiap sejak awal hari. Takut macet dan takut tak kunjung mendapatkan driver ojek online. 'Kan bisa telat.
Maka pagi itu, tatkala orang-orang belum pulang dari olahraga Ahad pagi mereka, saya sudah berdiri manis menunggu jemputan sang driver ojek online. Seperti biasa---semenjak menjadi warga Kauman---saya menunggu di Jalan Nyai Ahmad Dahlan. Tepatnya di mulut gang yang menuju Mushola Aisyiyah.
Sekadar tambahan informasi, mushola tersebut didirikan pada tahun 1922. Pendirinya adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, suami Nyai Ahmad Dahlan, sosok perempuan tangguh yang film tentangnya hendak saya tonton. Menurut penjelasan yang saya curi dengar dari para pemandu wisata, Mushola Aisyiyah itu merupakan mushola pertama di dunia, yang diperuntukkan khusus bagi wanita (kaum muslimah).
Singkat cerita, akhirnya saya tiba dengan selamat di lokasi tujuan: Empire XXI! Alhasil pagi itu, perjalanan hidup saya bermula dari (jalan) Nyai Ahmad Dahlan menuju (film) Nyai Ahmad Dahlan. Haha! Â Â
Film Ini Memeluk Hati Saya
Ya. Saya merasa dekat sekali dengan film ini. Hati saya terpeluk olehnya. Oleh sebab itu, sejak awal saya merasa sangat berkepentingan untuk menyimaknya (menontonnya) dengan serius. Padahal, saya bukanlah anggota Muhammadiyah ataupun Aisyiyah. Sudah pasti bukan pula anggota IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Â Ada beberapa hal yang menyebabkannya.
Pertama, saya tinggal di Kauman, di sebuah rumah bekas asrama santri Mu'alimmat, yang lokasinya beberapa langkah saja dari Mushola Aisyiyah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Mushola Aisyiyah dibangun oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Karena peruntukannya khusus muslimah, saya berani menyimpulkan bahwa Nyai Ahmad Dahlan-lah yang lebih banyak berperan di situ. Semoga saja kesimpulan saya tidak keliru.
Kedua, sebagaimana kita ketahui bersama, Kauman adalah basis Muhammadiyah. Tentu beserta Aisyiyah dan IRM-nya. Adapun yang paling berkaitan dengan film "Nyai Ahmad Dahlan", di Kauman itu tinggal pula beberapa cicit dari Nyai Ahmad Dahlan. Beberapa dari mereka ikut main dalam film tersebut. Salah seorang yang saya tahu adalah Ustaz Munichy.
Ketiga, sedikit cerita dari Ustaz Munichy tentang perannya di film "Nyai Ahmad Dahlan". Iya. Malam sebelum saya ikut nobar, kebetulan ada pengajian tasyakuran di rumah tetangga. Yang berceramah beliau. Karena oleh pembawa acara diperkenalkan (digoda) sebagai artis, berceritalah beliau tentang perannya di film. Beliau bilang sekadar numpang lewat, padahal ternyata lumayan lama tersorot kamera (sekitar 5 menit), dan adu aktingnya dengan Cok Simbara. Ayolah, tebak. Ustaz Munichy berperan jadi siapa?Â
Keempat, kawan saya yang pendiam dan putri keduanya ternyata ikut menjadi "artis". *alasan yang terlampau pribadional*
Kelima, makam Nyai Ahmad Dahlan berlokasi tak jauh dari alamat saya. Tepatnya beberapa meter di sebelah selatan, mepet dengan SD Muhammadiyah Kauman, di sebelah barat Masjid Gede. Nih. Agar tak dianggap hoax, berikut ini saya sertakan bukti autentiknya. Haha!
Secara keseluruhan film ini lumayan bagus. Cukup menggambarkan perjuangan Muhammadiyah dan Aisyiyah, tatkala masa-masa awal berdirinya. Tantangan demi tantangan dilalui oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Bahkan, yang taruhannya nyawa mereka sekalipun.
Banyak dialog cerdas yang terlontar dari pasangan suami istri tersebut. Yang isinya "gizi ruhani". Beberapa di antaranya bahkan sukses bikin saya melelehkan air mata haru. Sakingterharunya, sampai-sampai saya tidak sadar kalau Pak Ganjar Pranowo---sang ketua Kagama---duduk di kursi deretan depan saya. Ah? Tapi saya kok lupa, ya? Dialog yang manakah yang mengharukan itu?
Sudahlah. Saya lupa tak mengapa. Yang penting saya tidak lupa bahwa dalam film itu peran Kiai Haji Ahmad Dahlan justru terlihat lebih menonjol. Â Sejujurnya saat menonton, saya menjadi lalai bahwa film yang bersangkutan adalah tentang sang istri; bukan tentang sang suami. Mestinya 'kan yang lebih ditonjolkan Nyai Ahmad Dahlan"-nya,
Iya sih, literatur mengenai Siti Walidah (nama asli Nyai Ahmad Dahlan) memang terbatas. Jadi, bisa dimaklumi jika penulis naskah/skenario mengalami kesulitan saat mengumpulkan data dan informasi mengenai beliau. Akan tetapi mestinya, film diracik sedemikian rupa sehingga fokusnya lebih terarah pada kiprah perjuangan dan pemikiran Nyai Ahmad Dahlan. Â Mestinya dijaga, jangan sampai para penonton menjadi rancu seperti saya.
Baiklah. Apa pun hasilnya, film ini sudah selesai dibuat. Jadi, kita tinggal menikmatinya saja. Tapi tetap ya, sembari mengkritisinya demi perbaikan di masa depan. Siapa tahu kelak akan ada lagi film dalam versi berbeda mengenai ketokohan Nyai Ahmad Dahlan?
Saya kira inilah sedikit catatan untuk film "Nyai Ahmad Dahlan". Yakni sebuah film yang memeluk hati saya sebab---kebetulan--beberapa pemain figurannya saya kenal. Semoga ini dapat menjadi bekal bagi Anda untuk menontonnya di bioskop kesayangan. Nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H