Ketiga, sedikit cerita dari Ustaz Munichy tentang perannya di film "Nyai Ahmad Dahlan". Iya. Malam sebelum saya ikut nobar, kebetulan ada pengajian tasyakuran di rumah tetangga. Yang berceramah beliau. Karena oleh pembawa acara diperkenalkan (digoda) sebagai artis, berceritalah beliau tentang perannya di film. Beliau bilang sekadar numpang lewat, padahal ternyata lumayan lama tersorot kamera (sekitar 5 menit), dan adu aktingnya dengan Cok Simbara. Ayolah, tebak. Ustaz Munichy berperan jadi siapa?Â
Keempat, kawan saya yang pendiam dan putri keduanya ternyata ikut menjadi "artis". *alasan yang terlampau pribadional*
Kelima, makam Nyai Ahmad Dahlan berlokasi tak jauh dari alamat saya. Tepatnya beberapa meter di sebelah selatan, mepet dengan SD Muhammadiyah Kauman, di sebelah barat Masjid Gede. Nih. Agar tak dianggap hoax, berikut ini saya sertakan bukti autentiknya. Haha!
Secara keseluruhan film ini lumayan bagus. Cukup menggambarkan perjuangan Muhammadiyah dan Aisyiyah, tatkala masa-masa awal berdirinya. Tantangan demi tantangan dilalui oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Bahkan, yang taruhannya nyawa mereka sekalipun.
Banyak dialog cerdas yang terlontar dari pasangan suami istri tersebut. Yang isinya "gizi ruhani". Beberapa di antaranya bahkan sukses bikin saya melelehkan air mata haru. Sakingterharunya, sampai-sampai saya tidak sadar kalau Pak Ganjar Pranowo---sang ketua Kagama---duduk di kursi deretan depan saya. Ah? Tapi saya kok lupa, ya? Dialog yang manakah yang mengharukan itu?
Sudahlah. Saya lupa tak mengapa. Yang penting saya tidak lupa bahwa dalam film itu peran Kiai Haji Ahmad Dahlan justru terlihat lebih menonjol. Â Sejujurnya saat menonton, saya menjadi lalai bahwa film yang bersangkutan adalah tentang sang istri; bukan tentang sang suami. Mestinya 'kan yang lebih ditonjolkan Nyai Ahmad Dahlan"-nya,
Iya sih, literatur mengenai Siti Walidah (nama asli Nyai Ahmad Dahlan) memang terbatas. Jadi, bisa dimaklumi jika penulis naskah/skenario mengalami kesulitan saat mengumpulkan data dan informasi mengenai beliau. Akan tetapi mestinya, film diracik sedemikian rupa sehingga fokusnya lebih terarah pada kiprah perjuangan dan pemikiran Nyai Ahmad Dahlan. Â Mestinya dijaga, jangan sampai para penonton menjadi rancu seperti saya.
Baiklah. Apa pun hasilnya, film ini sudah selesai dibuat. Jadi, kita tinggal menikmatinya saja. Tapi tetap ya, sembari mengkritisinya demi perbaikan di masa depan. Siapa tahu kelak akan ada lagi film dalam versi berbeda mengenai ketokohan Nyai Ahmad Dahlan?
Saya kira inilah sedikit catatan untuk film "Nyai Ahmad Dahlan". Yakni sebuah film yang memeluk hati saya sebab---kebetulan--beberapa pemain figurannya saya kenal. Semoga ini dapat menjadi bekal bagi Anda untuk menontonnya di bioskop kesayangan. Nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H