Melalui penuturan Kak Hari, saya jadi tahu pula bahwa mitos Lawang Sewu di Semarang sana salah kaprah. Bangunan yang kondang dengan keangkerannya itu kerap dikabarkan sebagai tempat penyiksaan tawanan perang. Eh, ternyata bukan. Tahukah Anda? Lawang Sewu itu rupanya merupakan bekas kantor salah satu perusahaan kereta api semasa kolonial Belanda.
Salah satu perusahaan kereta api? Iya, salah satu. Pada masa itu di bumi Nusantara memang terdapat 19 perusahaan kereta api. Tidak seperti sekarang yang hanya dikelola oleh P.T. KAI. Itulah sebabnya dalam satu kota bisa terdapat lebih dari satu stasiun. Misalnya Jogja yang punya Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu; Solo yang punya Stasiun Solo Balapan dan Stasiun Purwosari.
 Singkat cerita, siang hingga sore itu saya mendapatkan banyak pengetahuan baru terkait eksistensi kereta api di Indonesia. Yang ternyata pada tahun 2017 ini, sudah mencapai bilangan ke-150. Luar biasa, ya? Betapa telah jauh jarak waktu yang kita tempuh ....
Kak Hari mengakui bahwa buku KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap merupakan referensi berbahasa Indonesia terlengkap mengenai kereta api di Indonesia. Terkhusus buku ini merupakan buku berbahasa Indonesia pertama yang mengulas detil tentang lokomotif uap di Indonesia. Segala data dan informasi yang dihimpun tim penulisnya sangat akurat.
Buku bermanfaat ini penuh gambar lokomotif uap. Tentu saja harus begitu, ya. Tapi yang keren, sekitar 85 % dari foto-foto yang terpampang di situ sudah mengantongi izin dari para fotografernya. Ya, tim penulis dengan telaten telah menembusi mereka satu per satu demi meminta izin.
Saya tahu bahwa pujian bukanlah tujuan utama mereka untuk melahirkan karya tersebut. Tapi faktanya, apa yang mereka lakukan sangat layak kita puji. Setidaknya pihak KAI sendiri mengucapkan terima kasih atas lahirnya buku itu. Iya, deh. Semoga semua pegawai P.T. KAI diwajibkan membaca buku karya Yoga Bagus Prayoga, Diaz Radityo, dan  Y . Sapto Prabowo. 'Kan bisa lebih laris tuh bukunya kalau diborong oleh P.T. KAI. Haha!
O, ya. Kalau saya punya harapan tersendiri. Begini. Saya betul-betul berharap bahwa hadirnya buku tersebut mampu menginspirasi P.T. KAI untuk menghidupkan lagi jalur-jalur kereta api yang telah mati, tapi relnya masih utuh. Bukan semata-mata demi "menjalankan perintah", melainkan dengan semangat untuk meraup keuntungan ekonomi. Mungkin sulit direalisasikan, ya? Tapi kalau masih bisa diupayakan, kenapa tidak?
Siapa yang Membersamai Saya Itu?
Acara telah usai dengan manis. Saya pun pulang dengan senyum manis karena membawa buah tangan berupa voucher makan dan foto lokomotif uap berbingkai indah. Tapi ada sejuta tanya di benak yang tak hilang hingga sekarang. Setelah melewati pintu gerbang Vredeburg, saya diantar oleh seseorang menuju ruang acara. Seseorang berwajah pucat. Katanya dia merupakan salah satu dari tim penulis buku yang akan diluncurkan. Tapi kok, ternyata dia tidak ikut tampil di panggung bersama Kak Hari? Lalu, siapa dia yang langsung menghilang saat saya mengisi daftar hadir?