Mohon tunggu...
Agustin Anggriani
Agustin Anggriani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Restorasi Pendidikan Indonesia, Telurkan Generasi Emas 2045

14 Oktober 2012   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:52 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada anggapan sistem pendidikan kita tidak berhasil membangun sikap positif anak terhadap lingkungan sekitar. Mereka yang berhasil lulus dari pendidikan tinggi lebih banyak yang cenderung melakukan aktualisasi untuk kepentingan pribadi, bukannya melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa. Oleh karena itulah diperlukan reaktualisasi yang dapat menjadikan terangkatnya derajat bangsa, seperti yang telah diusahakan orang-orang super seperti Bang Lendo dan Pak Din. Mereka bukan profesor, juga bukan orang dengan latar belakang pendidikan keguruan, namun kiprahnya dalam hal ihwal pendidikan patut diacungi empat ibu jari. Ini mengajarkan kepada kita, setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat berpotensi untuk menjadi orang hebat dalam memperjuangkan kemajuan bangsa.


Bang Lendo yang mendirikan Sekolah Alam di Bogor telah berhasil menginternalisasikan nilai-nilai mulia untuk mencetak generasi pemimpin peradaban melalui komunitas pembelajaran yang terintegrasi berbasis alam dan potensi lokal. Tentu saja dengan adanya sekolah ini dapat dikatakan pendidikan kita telah mampu bersaing dengan pendidikan Barat. Negara kita sangat potensial dengan kekayaan sumber daya alam yang dapat diandalkan. Sebut saja 40% penyuplai oksigen dunia adalah hutan Indonesia serta sebanyak 60% flora fauna berdiam di Indonesia. Jadi jelas yang kita perlukan adalah pendidikan yang sesuai dengan semboyan think globally, act locally. Di Sekolah Alam milik Bang Lendo, anak diajak untuk berpikir logis, aktif, serta produktif melalui cetusan pengintegrasian akhlak, logika, bisnis,dan leadership. Dengan adanya pengintegrasian semacam ini, maka akan tercetak generasi yang berakhlak mulia serta mandiri. Kita dapat melihat di lapangan, wajar kalau sipil kalah jika dibandingkan dengan tentara karena sipil tak diberikan porsi yang cukup mengenai leadership. Sungguh tidak fair ketika leadership hanya diajarkan kepada kaum tertentu saja. Maka semua rakyat Indonesia memang harus mendapatkan penempaan leadership sejak dini karena pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin, minimalnya pemimpin bagi diri sendiri. Dengan adanya kesadaran untuk memimpin diri sendiri maka akan tercipta kesadaran untuk mampu mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya di depan Sang Pencipta kelak. Inilah terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia yang menyedot perhatian dari berbagai kalangan. Kita yang selama ini hanya menjadi bangsa follower yang dengan tekun mengadopsi kurikulum pendidikan ber-madzhab Barat, sudah waktunya kini beretorika untuk berbuat sebaliknya, sehingga kitalah yang seharusnya mengekspor konsep pendidikan kepada mereka. Barat sudah sedemikian hancurnya, sedangkan Indonesia baru setengah hancur, bukankah kita masih memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan (pendidikan) yang benar sekaligus memanfaatkan persiapan momen 2045? Marilah kita bersikap optimis bahwa Indonesia dapat menjadi bangsa yang terbaik dalam segala sektor. Kuncinya kita harus berkemauan keras menjadi trendsetter yang mau belajar dari lingkungan sekitar untuk dibagikan kepada bangsa lain, bukan belajar dari bangsa lain yang amburadul lantas dibagikan kepada bangsa sendiri yang baru setengah amburadul. Jangan sampai hal yang jelas-jelas salah ini dibiarkan berlanjut di muka bumi Indonesia tercinta.


Ketika Bang Lendo menggagas Sekolah Alam Bogor demi mencetak generasi emas untuk bangsa, Pak Din pun tak ketinggalan turut andil berkiprah dalam Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga. Pak Din menganggap bahwa guru yang baik adalah guru yang mau belajar, bukannya guru yang mengajar karena hal ini terkesan menggurui dan sebentuk arogansi. Seorang guru yang baik haruslah memiliki semangat untuk mendampingi anak didiknya dengan cara belajar bersama pada pembelajaran yang komprehensif. Ia tidak boleh memaksakan kepada anak, namun ia harus selalu mendukung kemauan anak, dengan begitu anak akan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki. Sekolah ini bermula dari keprihatinan Pak Din atas mahalnya biaya pendidikan formal. Namun dengan tekad bulat, akhirnya sekolah yang terbuka untuk anak dari berbagai strata sosial dan agama ini dapat didirikan. Awalnya banyak yang pesimis pada hasil pembelajaran sekolah gagasan Pak Din, namun setelah kenyataan memperlihatkan bahwa banyak di antara pembelajar yang berhasil melanjutkan pendidikan di universitas ternama, akhirnya masyarakat menaruh kepercayaan dan turut mendukung sekolah yang sangat manusiawi ini. Kecelakaan terbesar bangsa kita dewasa ini menurut Pak Din adalah menganggap petani sebagai pengangguran terselubung. Padahal inilah yang menyebabkan semakin tak terkendalinya laju urbanisasi yang berujung pada munculnya beragam problematika di kota besar, khususnya Jakarta. Sudah saatnya anak desa didukung agar selalu bersemangat dalam rangka membangun desanya untuk kemajuan bangsa dan negara yang berimbas pada terjunjungnya martabat diri dan orang-orang di sekitarnya.


Tidak dapat dipungkiri bahwa kemandirian merupakan sebuah hal yang paling esensial karena karakter inilah yang menjadikan sebuah bangsa memiliki pamor di kancah dunia. Lihat saja Brazil yang mampu mandiri dengan etanol tebunya. Brazil disebut-sebut sebagai negara berkembang (sebutan santun untuk negara yang kurang atau bahkan tidak maju), namun dengan kemandiriannya Brazil telah setara dengan negara maju. Ketika yang lain sempoyongan karena harga minyak dunia naik secara signifikan, tidak demikian dengan Brazil. Ia masih gagah berdiri menantang zaman dengan senjata kemandirian. Bagaimana dengan bangsa kita? Etanol saja tidak dikembangkan dengan optimal, padahal negara kita kaya dengan hasil alam yang dapat digunakan sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Untuk itulah perlu dicetak kader-kader pengusaha yang berwawasan lingkungan serta mau mengolah local resources melalui sistem pendidikan yang telah direkonstruksi. Seperti kita ketahui pengusaha era kini sangat tidak berwawasan lingkungan, ia menciptakan industri yang tentu saja limbahnya mengancam bumi. Cara pandang juga telah bergeser, bahwa kemajuan hakiki diukur dengan parameter kepemilikan barang mewah, seperti mobil, AC, dan barang elektronik lainnya, padahal sebenarnya kemajuan hakiki adalah ketika kita berhasil memakmurkan negara dengan mengolah potensi yang terkandung dan mampu memberikan manfaat untuk kemaslahatan umat manusia. Cara pandang inilah yang harus diubah, karena cara pandang sangat menentukan seseorang dalam mengambil sikap.


Dulu kita sempat menjadi bangsa yang bermartabat, terbukti dengan prestasi-prestasi besar yang telah diukirnya dalam berbagai bidang. Salah satu keberhasilan dalam bidang pendidikan adalah ketika kita mampu mengirimkan para tenaga pengajar ke Malaysia. Namun sekarang kita tak lebih dari bangsa yang hina-dina dengan terus mengirimkan tenaga kerja ke negara tersebut. Sudahlah, cukup saja untuk menyebut TKW sebagai pahlawan devisa negara, itu hanyalah semacam penindasan yang dibungkus cantik dalam sebuah apresiasi busuk. Sudah waktunya kita menjadi bangsa yang disegani, bukannya bangsa yang terus-menerus dipandang sebelah mata oleh bangsa tetangga dan bangsa Barat. Mari sama-sama pergi ke laut kebahagiaan untuk membuang jauh-jauh mental inlander yang selama ini merasuki jiwa kita!


Agustin Anggriani

Ketua Warung Komunikasi Peneliti dan Diskusi Karya Ilmiah, Pemerhati Pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun