Dalam keseharian kita, banyak dari kita yang berjalan di lorong-lorong universitas dengan beban tas yang terasa semakin berat. Namun, bukan beban fisik yang membuat mata kita berkaca-kaca.Â
Itu adalah beban pikiran, beban keputusan yang mungkin salah, yang sering kali membebani hati dan jiwa. Khususnya, bagi anak semester 5, ini adalah saat di mana pertanyaan, keraguan, dan kegalauan seringkali bergulir seperti arus deras di pikiran mereka.
Ketika kita menyapa anak semester 5, banyak dari mereka yang merasakan suka duka yang mendalam.Â
Kejenuhan terhadap kurikulum, kekhawatiran akan masa depan, dan pertanyaan tak terjawab tentang jalur karir menjadi setumpuk beban yang mereka pikul. Seringkali, kita melihat mereka terjebak dalam dilema besar: merasa salah jurusan.
Seakan-akan, lembaran-lembaran buku kuliah yang semestinya menginspirasi dan memotivasi, kini menjadi sumber ketidakpastian.Â
Jurusan yang diambil lima semester lalu, yang dulu dipilih dengan begitu yakin, kini menjadi titik tanya besar. Apakah ini benar-benar yang diinginkan? Apakah ini adalah panggilan sejati hati?
Namun, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ini adalah bagian dari perjalanan kehidupan dan pembelajaran.Â
Bukan rahasia lagi bahwa banyak mahasiswa yang berjuang melalui jenjang kuliah mereka, hanya untuk menemui jalan buntu di semester 5. Ini adalah masa di mana lembaran curriculum vitae menjadi lembaran yang diisi dengan pertanyaan, bukan jawaban.
Mari kita tengok sisi suka dari kisah ini. Meskipun merasa salah jurusan, banyak anak semester 5 yang menemukan kekuatan dalam ketidakpastian.Â
Mereka belajar untuk lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap kemungkinan baru. Perasaan salah jurusan bisa menjadi katalisator untuk penjelajahan diri yang lebih mendalam, untuk menemukan minat dan passion yang selama ini terabaikan.