Image from instagram @indah.gn
Berjalanlah ke lorong itu hingga menemui ujungnya. Kita akan bertemu di sana, menegur dengan hanya kerlingan mata yang telah kupersiapkan hanya untukmu. Gedung ini begitu besar hingga mengunci perasaan kita untuk saling berkata sayang ketika berpapasan. Orang-orang di dalam gedung ini juga begitu menakutkan, kita tak berani bercakap manja karenanya. Di dalam gedung ini kita bisa melihat satu sama lain, tetapi begitu tersiksa karena tak bisa benar-benar saling menyentuh. Tak bisa benar-benar memanggilmu, dan semua serba abu-abu ketika di sini.
     Sebagai alasan, kau sering membuatku jengkel untuk berjalan mengitari beberapa ruang dan menaiki lalu menuruni tangga kembali hanya untuk saling bertatap berbalut seribu alasan. Saat bertemu hanya bisa bercakap terbata lewat benak.
     "Ada apa ketika kamu menatapnya?" satu manusia yang kita takuti mulai bertanya.
     "Tak apa, aku menatap biasa seperti kumenatapmu" apalagi yang bisa kukatakan.
     Aku masih mengingat segala macam baju dan corak yang kau kenakan setiap harinya kecuali hari Minggu. Berbatik ungu, berkemeja merah hati dan putih, atau mengenakan blazer biru maupun hitam gelap. Bahkan kilatan sepatumu setiap pagi masih kuingat. Cara berjalanmu menyusuri lorong pendek yang kau buat seolah panjang hanya untuk berlama-lama sedikit melirikku.
Kujuga masih mengingat ada sedikit tatapan di ujung jendela ruang itu. Menyusul tangan kananmu melambai padaku, hanya padaku. Membuat semua pasang mata yang melihat diserbu rasa penasaran dan penuh duga. Saat di luar ruangan kau menunggu dikursi panjang berwarna biru. Aku sebenarnya tak pernah suka duduk di kursi itu. Kau mulai membolak-balik buku dan menunjukkan banyak huruf dan banyak nama padaku.
Aku suka ketika bersamamu, tapi gedung ini begitu pemarah ketika melihat kita. Bahkan ketika suasana begitu ramai, kukira kita bisa sedikit bersembunyi dan aku bisa menaruh kepalaku di bahumu. Aku ingin mengatakan kelelahanku ketika bersembunyi seperti ini. Terlihat tak saling mengenal namun sebenarnya begitu dekat. Tapi begitulah yang memang harus kita hadapi. Mata mereka tak pernah bisa kita pejamkan dengan paksa, selalu saja melotot. Mulut mereka juga tak bisa kita bungkam dengan paksa, selalu saja berucap pedas.
 Tapi kini aku tak lagi berada di gedung itu, tak lagi melihat tatapan tajam mereka juga tak lagi mendengar pedasnya ucapan mereka. Meski begitu aku pergi seorang diri, tanpa gedung itu, tanpa orang-orang itu, dan juga tanpa dirimu. Aku melangkah keluar bersamamu, lalu saling menjauh secara bersama dimulai dengan kaki kiri kita. Dengan membawa lelahnya sembunyi juga lelahnya membohongi diri.
         16 November 2013
Nurindah Agustina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H