Mohon tunggu...
Nurindah Agustina
Nurindah Agustina Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Tak) Bersua Jua

21 Juni 2017   22:40 Diperbarui: 12 Maret 2018   16:47 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rinduku tak berujung, hampir November keempat tak bersua. Berlembar kertas penuh harap tak kunjung terkirim, tertahan rindu yang tak tahu diri. Aku selalu membayangkan suaramu mengatakan kesakitanku itu. Tak bisa terasa lagi berapa peluhku menemani.

“Mungkin cukup sampai disini” aku selalu menbayangkan bibirmu bergerak mengatakan setiap abjadnya, nafasmu mendenguskan setiap suku katanya. Kala itu aku bahkan tak sadarkan mengiyakan maumu. Aku tak menyadarinya, hingga beberapa ribu menit kemudian sunyi memanggil namamu.
Lalu aku mencarimu, di kelamnya hati masih terpampang ketampanan yang tiada tara. Tanda merah di wajahmu masih terpancar jelas, mataku terus memandangi meski ilusi dari sunyi hati. Jemariku yang pernah kau tuntun mengejar setiap langkah dengan kaki mungil namun terlalu kuat. Bisakah kau beri aku kesempatan itu, yang membebaskanku dari rasa salah menelantarkan kasih tulusmu penuh sayang. Untukku, yang entah pernah kau sebut pantas menemanimu.

Detik selalu mengalunkan melodi cinta ketika aku bahkan tak menyadari itu cinta. Bisakah kau kembali di telingaku dan hembuskan nafas “aku mencintaimu”. Seperti saat kau datang dan memberi banyak tanya dengan wajahmu yang rupawan lengkap bersama riasan tanda merah pemberian Tuhan. Setiap tengah November aku membuat permohonan agar bisa bersua dan bersuara denganmu. Terasa terlalu tinggi untuk kugapai, kau selalu saja berlari dengan sayapmu. Bagaimana aku memdapatkanmu, sedikit sentuhan sidik jarimu pun. Yang kudapat hanya hempasan sayapmu menyadarkan aku dalam harapan baru akan cintamu.

Semua isi pena itu telah tercurah dalam carik kertas. Namun aku gagal, gagal, dan gagal lagi ketika mengarahkan retinamu untuk melihatnya. Aku tak bisa berbuat apapun, tolonglah. Berilah uluran tangan, pundak, dan dada yang lapang untuk bisa kupeluk. Bagaimana lagi aku harus mencurahkan rinduku, tak ada yang bisa melegakannya sampai saat ini. Bunga tidur yang membawamu begitu berbaik hati. Aku bisa berasua denganmu meski, meski harus terjaga dengan peluh. Kembali aku ditemani linangan kekeringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun