Mohon tunggu...
Nurindah Agustina
Nurindah Agustina Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saat Kau Menua, Aku Mendewasa

15 November 2015   16:01 Diperbarui: 13 Maret 2018   07:38 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rinai ini terdengar dari dalam kamar kecilku. Mengenai dedaunan yang ada di taman tengah rumah. Kakiku beranjak keluar terkena rayuan rinai itu. Saat kulihat, langit begitu ingin mengeluarkan rinai-rinainya lebih. Namun entah kenapa terlihat ragu. Aku mendekati kolam ikan dengan teratai yang menguncup di tengahnya. Daunnya pun menutupi ikan-ikan kecil yang bergembira menyambut rinai hujan itu.

Begitu khas suara rinai yang bertemu dengan air di dalam kolam. Aku begitu merindukan rinai ini hingga aku meluapkannya dengan menengadah menyambutnya. Tak kusangka, ada sosok keluar dari lorong gelap. Bagaimana aku tak terkejut, dengan suara bariton yang memecah suasana damai bersama rinai ini.

“ Apa kamu sudah berteman dengannya?” Tanya lelaki itu mendekatiku.
“ Aku sudah berteman. Apa tidak terlihat keakraban kami ini?” Jawabku mengerutkan alis.

Laki-laki itu adalah kekasihku. Terheran dan akhirnya bertanya padaku tentang sang rinai. Dia masih mencari tahu tentang rinai hujan, berawal saat dia mengenalku. Dia sudah di dekatku, di dekatku yang sedang menikmati rinai hujan ini. Dia masih enggan untuk menyapa sang rinai yang begitu menyenangakan hati ini.

“ Aku belum mau menyentuhnya.” Ucapnya singkat.
“ Tak apa, mungkin kau akan menyukainya setelah kau agak mengenalnya dan menjadi candu untuk menyentuhnya.”
“ Entah, aku tak yakin.”

Suatu senja, aku berada dalam ruangan yang begitu dingin. Berteman cangkir kopi yang isinya tinggal separuhnya. Ya, kalian benar. Aku menunggu, kekasihku tak kunjung datang. Kami sepakat bertemu senja ini. Bukan membicarakan rinai hujan yang masih enggan ia sentuh, tapi untuk kumpulan detik. Begitu gugup aku menanti pembicaraan ini, bertambah gugup saat pasir ini terus jatuh butir per butir. Hingga aku harus membalikkan posisinya kembali agar terus dapat berjalan.

Kulihat dari kaca yang mulai berembun karena suhu dingin di ruangan ini, kekasihku berjalan. Tangannya ia singkap dalam kantong jaket mantelnya. Sepertinya ia disapa rinai hujan dalam perjalanan. Terlihat dari rambutnya yang terkena butiran rinai, terkesan dingin. Ia pun menghampiriku. Melihat ke arah meja bundar berbahan bambu hitam.

“ Bagaimana dengan kopimu?” Awal kalimat yang cukup hangat.
“ Lihat, dia menemaniku dengan baik. Kau bisa menyapanya.” Jawabku dengan menyilangkan kaki.

“ Aku bisa melihat betapa baiknya dia menemani kasihku.”

Setelah itu kami berdua diam. Entah apa penyebabnya, sepertinya tidak begitu buruk awal yang kami buat. Terdengar rintik hujan yang begitu tajam menusuk aspal dan tanah. Mengenai kaca yang berada tepat disampingku. Kencang betul suara yang ia hasilkan saat membentur beningnya kaca ini.

“ Lihat dia berusaha menyapaku bukan? Bisa percaya bahwa kami telah berteman sekarang?” Dua pertanyaan yang kucoba untuk mengusir diam antara kami.

“ Tapi, lupakan. Kita membicarakan hal lain di sini.” Sambungku sadar bahwa dia diam tak tertarik dengan rinai hujan yang kubicarakan.

Sejak semalam dia membicarakan detik-detik yang akan dilalui. Entah apa yang dia rasakan, aku tahu dia bukan orang bertipe seperti ini. Selama ini dia mengalir menjadikanku kekasih. Dua pandangan besar yang berbeda inipun dia lalui secara mengalir tenang. Pernah kubayanngkan betapa hati dan fikirannya begitu bergejolak dengan keadaan yang sedang ia lalui. Tak nampak ketika ia berbicara. Namun dalam diam kata, matanya begitu jelas, garis-garis wajahnya nampak jelas bahwa jalan yang diberikan Tuhan begitu membekas.

“ Bagaimana menurutmu? Tentang hati kecilmu? Sudah berbicara padanya?” Dia bertanya begitu menusuk dalam dada.
“ Entahlah, aku tak yakin. Bagaimana denganmu?” Tak kuasa, kubalikkan pertanyaan itu padanya.

“ Ya, kita tak pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku juga tak pernah mengawali topik ini untuk dibicarakan sebelumnya. Tapi ini kurasa saatnya. Aku ingin meyakinkanmu hai semangatku.” Runtut yang ia sampaikan, lidahku menjadi kelu.

Aku tahu arah pembicaraan ini kemana. Aku selalu membayangkan di akhir pertanyaan ini pertemuan kami ini juga menjadi akhir. Seperti kelutnya akhir kopi dalam cangkirku saat ini. Semakin dasar kutemui, semakin pahit yag kurasa. Yang sebenarnya adalah rasa murni dari sang kopi seduh ini. Aku bingung dengan peristiwa ini. Aku tak berani berbicara atau menjawabnya sekalipun dalam mimpi.

“ Kemana arah kaki menapak saat memeluk Tuhan. Kamu melihat begitu jelas bukan?”

“ Iya, kenapa?”

“ Sungguh, aku ingin terus memelukmu, menemanimu, menua bersamamu, bahkan jika bisa aku ingin bersama saat nafas ini terhempas.”
“ Dan aku lebih dari itu. Jika kau berkata seratus tentang rasa indah yang kau punya untukku, aku punya rasa indah itu sebanyak tak terhingga kasih. Dan aku merasakan itu lebih dari yang kau rasakan juga yang kau tahu.” Perasaan jujur yang aku keluarkan belum sepenuhnya kuungkap.

Kami, adalah seorang pasangan kekasih. Sepasang manusia menggandengkan tangannya untuk memperkuat sesama, saling merangkul untuk menenangkan sesama. Tuhan telah merencanakan pertemuan dan yang terjadi sekarang ini untuk kami. Hanya sebuah teori klasik membuat goyah rasa saling mendamaikan ini. Hanya masalah siapa yang lahir terlebih dahulu, hingga ada yang disebut muda dan tua. Hampir 15 tahun jarak kami tiba di dunia. Lalu apa masalah jutaan mata yang melihat.

Kami tidak bisa bergandeng tangan seperti pasangan lain untuk menghindari buah pemikiran yang spontan dan tak tercerna keluar dari lisan pedas. Hey….!!! Kami juga penghuni dunia ini. Tuhan membuat ini juga untuk kami makhluknya. Apa hanya kau yang merasa memiliki hingga aku dan dia terjepit sakit dalam lilitan suara lisan-lisan licin.

“ Sudahlah. Aku ingin tetap merasa nyaman di dekatmu, bahkan jika kau punya rambut putih atau kulit yang menggulung akibat kotornya udara, atau kaki yang gemetar.” Mencoba meyakinkannya agar tetap tinggal dan tak mempersalahkan lagi.

“ Tapi saat yang kau bicarakan tadi, apa kau juga akan seperti itu bersamaku? Jika aku sudah seperti itu kau masih berbalut kulit kencang, mata yang berbinar, rambut hitam lurus lembut nan wangi, kaki yang tegak. Bagaimana aku tak khawatir dengan itu? Jika kumbang lain melihat bunga ini dan juga kumbang renta disampingnya, apa tidak ingin mendekat dan menyingkirkan kumbang renta? Apa kau bisa menjamin itu?”

“ Iya, aku sendiri yang menjamin hal itu. Aku akan menutup mata kepada kumbang lain, dan tetap menatap kumbang kokohku yang dianggap renta. Aku tetap melihat cahaya kita di depan sana. Kau tak usah lagi meragukanku, jika aku tak bisa menerimamu aku tak akan mengambil langkah sejauh ini.”

Suasana dingin dan kembali dalam diam. Aku tak kuasa menatap wajah apalagi matanya. Ku perhatikan kembali rinai hujan ini. Menetes dan mengalir penuh hati-hati di permukaan bening kaca.

“ Dan aku mencintaimu, aku ingin memberimu tangan hangatku, aku ingin mendekapmu dalam kekalutanmu, aku ingin menggandengmu dalam keraguan, aku ingin menua bersamamu, aku ingin nafasku terhempas dalam satu waktu bersama denganmu…”

Kudengar teriakan itu di luar, dibalik kaca yang dipenuhi tetesan rinai hujan. Dia menengadah kearah langit. Menyambut rinai hujan bersama kata-kata merah mudanya. Aku tak menyadari bahwa dia keluar dan menyambut rinai hujan. Yang lebih membuatku terkejut, dia menenangkanku kembali (lagi). Aku berlari menyusulnya di tengah rinai hujan. mempertemukan kedua tangan dalam pelukan hangat.

“ Bagaimana? Tidak terlalu buruk menyambut rinai hujan bukan?” Tanyaku sangat bahagia kala itu.

“ Ini karena kau bersamaku… bukan karena rinai hujan. Tapi dia yang membisikkan bahwa kau benar-benar teman untukku. Teman bersama saat aku menua dan kau masih mendewasa.”
“ Siapa mereka yang berani menguntai kata-kata ‘tidak boleh’ atau yang lain. Menyatakan bahwa usia kita tidak bisa menyatu.”

Terimakasih rinai telah berbisik pada hati yang sebenarnya hampa dengan kepastian. Aku mencintainya bersama rinaimu yang damai. Jika aku bisa dan diijinkan, aku akan memilih menua lebih awal untuk membuatnya nyaman disampingku.

 

Sajak Untuk Terkasih

Pernahkah kau bertanya pada matahari?
 Bagaimana dia bertemu dengan rembulan?

Penahkah kau bertanya pada air?
 Bagaimana dia mencintai minyak
 Yang tak bisa ia sentuh

Tenanglah, jangan seperti kopi terakhir dalam cangkir.

sambutlah rinai
 rasakan rintik bertemu dengan kulitmu
 merasuk menembus ruang terdalam hati

 mendamaikan benak penuh keabuan
 dengarlah dia
 pesanku untukmu
 jangan takut menua karena kau menua bersamaku
 aku akan menua lebih awal untukmu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun