“ Tapi, lupakan. Kita membicarakan hal lain di sini.” Sambungku sadar bahwa dia diam tak tertarik dengan rinai hujan yang kubicarakan.
Sejak semalam dia membicarakan detik-detik yang akan dilalui. Entah apa yang dia rasakan, aku tahu dia bukan orang bertipe seperti ini. Selama ini dia mengalir menjadikanku kekasih. Dua pandangan besar yang berbeda inipun dia lalui secara mengalir tenang. Pernah kubayanngkan betapa hati dan fikirannya begitu bergejolak dengan keadaan yang sedang ia lalui. Tak nampak ketika ia berbicara. Namun dalam diam kata, matanya begitu jelas, garis-garis wajahnya nampak jelas bahwa jalan yang diberikan Tuhan begitu membekas.
“ Bagaimana menurutmu? Tentang hati kecilmu? Sudah berbicara padanya?” Dia bertanya begitu menusuk dalam dada.
“ Entahlah, aku tak yakin. Bagaimana denganmu?” Tak kuasa, kubalikkan pertanyaan itu padanya.
“ Ya, kita tak pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku juga tak pernah mengawali topik ini untuk dibicarakan sebelumnya. Tapi ini kurasa saatnya. Aku ingin meyakinkanmu hai semangatku.” Runtut yang ia sampaikan, lidahku menjadi kelu.
Aku tahu arah pembicaraan ini kemana. Aku selalu membayangkan di akhir pertanyaan ini pertemuan kami ini juga menjadi akhir. Seperti kelutnya akhir kopi dalam cangkirku saat ini. Semakin dasar kutemui, semakin pahit yag kurasa. Yang sebenarnya adalah rasa murni dari sang kopi seduh ini. Aku bingung dengan peristiwa ini. Aku tak berani berbicara atau menjawabnya sekalipun dalam mimpi.
“ Kemana arah kaki menapak saat memeluk Tuhan. Kamu melihat begitu jelas bukan?”
“ Iya, kenapa?”
“ Sungguh, aku ingin terus memelukmu, menemanimu, menua bersamamu, bahkan jika bisa aku ingin bersama saat nafas ini terhempas.”
“ Dan aku lebih dari itu. Jika kau berkata seratus tentang rasa indah yang kau punya untukku, aku punya rasa indah itu sebanyak tak terhingga kasih. Dan aku merasakan itu lebih dari yang kau rasakan juga yang kau tahu.” Perasaan jujur yang aku keluarkan belum sepenuhnya kuungkap.
Kami, adalah seorang pasangan kekasih. Sepasang manusia menggandengkan tangannya untuk memperkuat sesama, saling merangkul untuk menenangkan sesama. Tuhan telah merencanakan pertemuan dan yang terjadi sekarang ini untuk kami. Hanya sebuah teori klasik membuat goyah rasa saling mendamaikan ini. Hanya masalah siapa yang lahir terlebih dahulu, hingga ada yang disebut muda dan tua. Hampir 15 tahun jarak kami tiba di dunia. Lalu apa masalah jutaan mata yang melihat.
Kami tidak bisa bergandeng tangan seperti pasangan lain untuk menghindari buah pemikiran yang spontan dan tak tercerna keluar dari lisan pedas. Hey….!!! Kami juga penghuni dunia ini. Tuhan membuat ini juga untuk kami makhluknya. Apa hanya kau yang merasa memiliki hingga aku dan dia terjepit sakit dalam lilitan suara lisan-lisan licin.
“ Sudahlah. Aku ingin tetap merasa nyaman di dekatmu, bahkan jika kau punya rambut putih atau kulit yang menggulung akibat kotornya udara, atau kaki yang gemetar.” Mencoba meyakinkannya agar tetap tinggal dan tak mempersalahkan lagi.