Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum Perdata Islam di Indonesia yaitu hukum perseorangan yang mengatur hak serta kewajiban warga Negara di Indonesia serta yang beragama islam. Dalam arti luas meliputi semua hukum dan privat materiil, seluruh hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Manusia dikodratkan untuk hidup bersama demi kelangsungan hidup sehingga menimbulkan satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur kehidupan itu, inilah yang dinamakan  Hukum Perdata "Privat materiil".
Dan dalam pengertian umum merupakan norma hukum yang berkaitan dengan hubungan hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, orang tua dan anak, perwalian,perceraian, masalah gono gini perceraian , rujuk, dan setiap hal yang berhubungan dengan dengan sebelum dan sesudah terjadinya perkawinan, serta hal-hal yang menyangkut akibat-akibat hukum karena adanya perceraian, demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan , wasiat dan perwakafan.
Pengertian khusus, sebagai norma hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum bisnis islam, seperti hukum jual beli, sewa menyewa, utang piutang , syirkah/serikat, upah mengupah, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah. Hukum perdata islam hanya ditujukan oleh umat muslim tidak berlaku bagi warga negara non muslim.
Prinsip perkawinan yang diatur di dalam UU No.1 tahun 1974 dan KHI
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bunyi ketentuan Pasal 1 UU I Tahun 1974 tentang perkawinan.Perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tiap adanya  perkawinan dicatat oleh peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau asas perkawinan yang telah di sesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas dalam UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah :
- Tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang Bahagia serta kekal. Untuk suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, supaya masing-masing dapat mengembanngkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
- Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakuan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan pada perkawinan merupakan sama dengan pencatatan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
- Undang-undang ini yang telah menganut diasas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan , karena hukum dan agama dari yang bersangkutan menngizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
- Calon suami dan istri  harus telah dewasa jiwa raganya.
- Mempersulit terjadinya perceraian ,untuk memungkinkan perceraian harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
- Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
- Asas Persetujuan, terdapat dipasal 16-17 KHI
- Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
- Asas Kebebasan.
- Memilih pasangan dengan harus tetap mempertimbangkan larangan perkawinan. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39-44 KHI (larangan perkawinan.
- Asas kemitraan suami istri.
- Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat,hak dan kewajiban Suami-Istri:(Pasal77KHI).
- Suami menjadi kepala keluarga,istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengatur rumah tangga.(Pasal 79 KHI).
- Asas untuk selama-lamanya
- Pasal 2 KHI:akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan menjalankan ibadah.
- Asas kemaslahatan hidup
- Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah.Dan Rahmah
- Asaskepastianhukum, Pasal 5-10 KHI
Dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis
Pernikahan tidak hanya masalah sosial yang memiliki aspek sosiologis, tetapi juga terkait dengan konteks budaya dan pemahaman agama. Dilihat dari sisi sosiologis, pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama antara pria dan wanita dalam kehidupan suatu masyarakat di bawah suatu peraturan. Jadi jika tidak di catatkannya suatu pernikahan maka akan melanggar peraturan sosial yang telah di tetapkan dalam masyarakat hal tersebut akan berakibat suatu Tindakan diskriminasi dalam lingkungan sosial.
Dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan religiou. Perkawinan yang melanggar ketentuan agama tentunya melanggar peraturan Undang-Undang Perkawinan pada pasal 2 ayat (1) sehingga perkawinan tersebut dapat dianggap tidak sah. Setiap agama memiliki peraturannya tersendiri dalam urusan perkawinan, maka dari itulah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan ini lebih mengacu pada agama dan keyakinan sebagai dasar dari perkawinan itu. Terlebih lagi di Negara Indonesia menganut berbagai macam agama dan keyakinan yang berbeda sehingga perkawinan yang sah atau tidak sah itu ditentukan oleh agamanya sendiri.
Agama Islam menganjurkan agar dalam pernikahan dilakukan dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga mendatangkan kebahagian dalam rumah tangga. Sehingga diharapkan semua hak-hak satu pasangan cerai dapat dipenuhi, termasuk hak-hak anak yang ditinggalkan,akan tetapi dengan tidak di catatkannya pernikahan akan berdampak tidak baik dalam keberlangsungan hal tersebut, Â pernikahan yang tidak di catatkan di kalangan umat Islam di Indonesia secara umum masih terbilang banyak.
Dampak yuridis yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan
Suatu Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah sah apabila dicatatkan menurut perundang-undangan yang berlaku menurut hukum dan agama masing masing seseorang.
Pendapat Ulama dan KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil
Menurut Imam Hanafi, Beliau membolehkan perkawinan wanita hamil zina, tetapi tidak boleh tidur dengan suaminya sebelum anak yang dikandungnya lahir, karena tidak adanya ketentuan syara' secara tekstual yang melarang perkawinan wanita hamil karena zina.
Imam Syafi', membolehkan atau menganggap sah perkawinan wanita hamil akibat zina baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya mapun laki-laki lain tanpa harus menunggu bayi yang dikandungnya lahir.
Imam Maliki, Ulama Maliki. Apabila wanita itu menikah sebelum istibra', maka pernikahan dikatakan fasid (batal dengan sendirinya), karena khawatir bercampurnya keturunan di dalam rahim, dan Nabi Saw melarang kita menyirami tanaman orang lain.
Imam Hambali, Menurut Imam Hambali, perempuan pezina baik ia hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan syarat:
Telah habis masa iddahnya, tiga kali haid.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci mengenai perkawinan perempuan hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Hanya saja dalam KHI menyatakan bahwa perkawinan perempuan hamil hanya dengan laki-laki yang menghamilinya tidak memberikan peluang kepada laki-laki yang bukan menjadi sebab terjadinya kehamilan tersebut.
Dari segi hukum, Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan di maksud sebagaimana bahwa:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan di langsungkan perkawinan pada saat hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 53 ayat (2) merupakan suatu bagian integral dari Pasal 53. Artinya bahwa antara ayat yang satu dengan ayat yang lain merupakan satu kesatuan, sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antar ayat dalam Pasal 53. Karena ketentuan ayat 2 tersebut sangat terkait dengan kebolehan kawin hamil. Maka seandainya ada kewajiban untuk menjalankan 'iddah (sampai melahirkan) berarti bertentangan dengan Pasal 53 ayat 1 tentang kebolehan kawin hamil.
Hal yang dilakukan untuk menghindari perceraian
Sesuai dengan asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi pada kenyataannya Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan mengenai larangan tersebut, tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang memutuskan perkawinan.
Penyebab putusnya perkawinan, menurut Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 113 KHI, yaitu karena, Meninggal, Perceraian, Putusan Hakim. Â Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang "perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan."
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari perceraian
- Kedewasaan jiwa dan raga suami istri
- Kedewasaan begitu penting dalam suatu rumah tangga terlebih jika terjadi suatu permasalahan,suami istri harus menyelesaikannya dengan sikap yang baik tanpa menghakimi salah satu pihak.
- Menjaga komunikasi dengan pasangan
- Karena komunikasi yang baik merupakan salah satu kunci utama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Selalu berusaha terbuka dan mengutamakan kejujura.
- Menghindari Tindakan kekerasan
- Kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu factor terbesar dalam memicu perceraian, oleh karena sebaiknya menghindari Tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap pasangan.
- Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah
- Berdoa kepada Allah dan berserah diri merupakan cara yang efektif untuk mrnjaga keharmonisan rumah tangga.
- Menghindari sikap egois
- Selalu memikirkan kepentingan dan perasaan pasangan, dengan tidak mengedepankan kepentingan pribadi untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.
- Memperbaiki Kesalahan dengan tulus
- Dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama dan belajar dari kesalahan dapat menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.
Book Review
Dalam buku yang berjudul Aspek Hukum Janji Prakontrak, yang ditulis oleh M. Natsir Asnawi, S.HI.,M.H yang memuat mengenai Hukum Janji Prakontrak, Istilah kontrak atau persetujuan (overenkomst) sering dipadankan dengan perjanjian (verbintenissen).Ini dapat dimaklumi karena perjanjian sebenarnya merupakan alasan atau dasar adanya kontrak.
pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
- Kedudukan prakontrak dalam sistem hukum kontrak Indonesia belum diakui, hal ini ditandai dengan tidak adanya pengaturan khusus mengenai prakontrak sebagai tahapan pembentukan suatu kontrak (formation of a contract), padahal di negara-negara maju, prakontrak telah diatur sedemikian rupa baik melalui legislasi maupun penerapan doktrin hukum yang relevan.
- Pertanggungjawaban prakontrak (precontractual liability) adalah yang dibebankan kepada pihak-pihak yang melanggar janji prakontrak atau melakukan perundingan preliminary negotiation) dengan iktikad buruk (te kwarde trouw).
Setelah membaca buku Aspek Hukum Janji Prakontrak yang ditulis oleh M. Natsir Asnawi, S.HI.,M.H Inspirasi yang saya dapat , Saya menjadi tahu bahwa ternyata banyak peranan hukum janji prakontrak terutama dalam hal bisnis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H