Akhir-akhir ini, perubahan iklim menjadi perbincangan yang teramat hangat, terkhusus dalam media sosial. Memang benar adanya, perubahan cuaca yang begitu ekstrim memang perlu digagas.Â
Tak sedikit platform yang bersedia mengampanyekan tentang pelestarian alam guna menjaga bumi, hingga mengorbankan diri dan juga waktunya guna bakti pada bumi.Â
Begitu banyak hal remeh-temeh yang kita lakukan setiap hari, setiap saat, juga setiap waktu. Memang tak dapat dipungkiri, seiring berkembangnya zaman, manusia tentu mengandalkan hal yang mudah lagi praktis dilakukan. Namun jika hal tersebut hanya memberi keuntungan pada diri, apakah kepraktisan tersebut tetap dilanjutkan?.
Perubahan iklim atau yang biasa dikenal dengan Climate Change, yang berarti perubahan cuaca yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan lebih lama daripada cuaca harian.Â
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti halnya; pemakaian kendaraan bermotor secara berlebihan, penggunaan plastik sekali pakai yang tidak lagi dapat terkendali, pohon yang jarang ditemui, dan pemakaian masker sekali pakai yang dianggap remeh.
Polusi udara yang sangat berlebihan dapat menipiskan lapisan ozon hingga mempermudah masuknya sinar matahari tanpa penyaringan, ini bukan lagi hal tabu.Â
Lalu mengapa bumi menjadi lebih panas dari biasanya?, hal ini dikarenakan polusi udara yang di produksi sangat berlebihan, selain kendaraan bermotor, asap pabrik, dan pembakaran sampah plastik dan sampah masker juga turut menjadi penyumbang polusi udara yang begitu mengkhawatirkan.Â
Dari polusi udara tersebut, panas yang masuk kedalam bumi terikat oleh partikel-partikel polusi, sehingga panas tidak dapat keluar dengan bebas, hingga mengakibatkan bumi lebih panas dari biasanya.
Transportasi menyumbang gas rumah kaca sebesar 14% (14% of 2010 global greenhouse gas emissions; Greenhouse emissions from this sector primarily involve fossil fuels burned for road, rail, air, and main transportation). Penyumbang gas rumah kaca terbesar justru dari kendaraan (43%).Â
Jakarta tercatat motor menghasilkan jumlah polutan tertinggi setiap harinya (kompas.com/Agustus 2019). Mobil menyumbang 0,27 Kg CO2/km sedangkan motor 0,15 Kg CO2/km, Bus 0,08 kg CO2/km, dan kereta 0,04 kg Co2/km.Â
Hal tersebut akan menyumbang karbon dioksida (CO2) dan juga karbon monoksida (SO2), selain  berdampak pada perubahan iklim, hal tersebut juga memberi dampak negatif pada kesehatan.Â
Memang mengkhawatirkan, padahal seluruh penduduk bumi tak lagi jarang memiliki transportasi pribadi berupa kendaraan bermotor. Hal tersebut dapat dikurangi dengan memanfaatkan transportasi umum (jika mendukung), bersepeda (jika dirasa dekat), ataupun berjalan kaki.
Selain transportasi, pembakaran sampah plastik dan juga sampah masker dapat menyumbang polusi udara, hal tersebut tampak remeh, namun jika satu orang menyumbang setidaknya 10 plastik setiap harinya, satu bulan tercatat 300 sampah plastik, dan hal tersebut juga dilakukan oleh jutaan orang lainnya.Â
Meski dengan dalih "kemana saja menggunakan tas belanja" namun ada beberapa plastik yang tidak dapat kita hindari, sepertihalnya; bungkus makanan, bungkus detergen, pewangi pakaian, bumbu dapur, bungkus mie instan, dan lain sebagainya.Â
Namun, jika kita dapat mengolahnya dengan baik, hal tersebut dapat mengurangi adanya pembakaran sampah plastik, dan dapat menjadikan nilai ekonomis tersendiri.Â
Pengolahan sampah plastik yang mudah dilakukan, sepertihalnya; mengolah sampah menjadi tas belanja, dompet yang lucu, pouch yang unik, ransel yang anti mainstream, media tanam yang jarang ditemui, hiasan dinding, vas bunga, dan masih banyak lagi.Â
Sejauh ini belum ada inisiatif dalam pengolahan limbah masker menjadi nilai ekonomis, namun kita dapat mencoba mengurangi adanya penggunaan masker sekali pakai dengan masker yang dapat kita gunakan kembali, selain ramah kantong, nyatanya hal tersebut juga lebih ramah lingkungan.Â
Sampah plastik dan sampah masker menjadi serba salah, jika dibakar dapat menambah polusi udara, jika dibuang ke laut, laut akan menjadi tercemar, begitu pula jika dibuang ditanah, tanahpun akan kesusahan dalam mengurai.
Tentu saja, kita tidak dapat menghilangkan kebiasaan tersebut secara total, namun kita dapat berupaya dalam menanganinya. Salah satunya dengan tetap menanam, menjaga, dan merawat pepohonan, jika diri tidak memiliki sumbangsih pada bumi, setidaknya tidak memperkeruh keadaan[1].
Ada beberapa platform yang sengaja dibentuk guna kepentingan mengajak milenial dalam menyelamatkan ibu pertiwi. Semua platform memiliki cara yang berbeda, meskipun dengan tujuan yang sama. Seperti halnya;Â
- mengampanyekan tentang mengurangi penggunaan sampah plastik, dan diganti dengan membawa peralatan makan, minum, dan belanja kemanapun kita pergi.
- Penghijauan bumi.
- Pengolahan sampah menjadi nilai ekonomis.
- Penjualan produk disertai kampanye alam.
- Kumpul relawan gerakan bumi sehat.
- Perawatan Ekosistem laut.
- Pengolahan limbah jadi rupiah.
- Dan lain sebagainya.
 Jika semua penduduk bumi memiliki satu gagasan "Cuma satu, tak akan memberi pengaruh apapun", maka bumi akan rusak secara perlahan. Lalu apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita kelak?.
 Kita dapat melakukan beberapa upaya guna menyelamatkan bumi, tidak melulu soal aksi besar, aksi remeh-temeh pun dapat memberikan sumbangsih yang cukup signifikan. Jika tidak dimulai dari diri sendiri, lalu siapa lagi?,
(Agustina)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H