Mohon tunggu...
Agustiawan
Agustiawan Mohon Tunggu... Dokter - Doktermu

Dokter | Promotor Kesehatan | Humoris | Dapat Diandalkan Instagram: @agustiawan28 @hep.id @hep.program

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Post Pandemi Covid-19 Agenda

4 Januari 2023   03:17 Diperbarui: 4 Januari 2023   03:36 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah salah satu krisis kesehatan masyarakat global yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, dimana hampir setengah miliar kasus dan lebih dari enam juta kematian dilaporkan oleh World Health Organization (WHO). Penyakit ini disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) yang sebelumnya disebut sebagai novel coronavirus 2019 (2019-nCoV). Penyakit ini terutama menyebar di antara orang-orang melalui droplet pernapasan yang berasal dari batuk dan bersin (Centers for Disease Control and Prevention, 2020; Gorbalenya AE, 2020).

Jumlah orang yang terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia sudah hampir mencapai tujuh juta orang/kasus dan sebanyak 160 ribu kasus kematian. Jumlah kasus COVID-19 di Riau adalah terus meningkat dimana sudah terdapat akumulasi 152 ribu kasus selama pandemi COVID-19 dan terdapat penambahan kasus baru yang diyakini akan terus meningkat sampai awal tahun 2023 (SATGAS, 2020). Infeksi ini menyebar dari satu orang yang terinfeksi COVID-19 ke orang lain melalui droplet pernapasan yang dihasilkan oleh saluran udara yang seringkali keluar bersamaan dengan batuk. Kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (WHO Indonesia, 2021).

Vaksin adalah salah satu alat yang paling efektif untuk melawan COVID-19. Lebih dari 11 miliar dosis telah diberikan secara global, dan 64% populasi dunia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19. Studi telah menunjukkan efektivitas yang baik dari vaksin COVID-19 yang dibuat menggunakan platform teknis yang berbeda untuk pencegahan penyakit parah dan kematian, efektivitas pencegahan infeksi jauh lebih sedikit (Haque & Pant, 2020). Efektivitas perlindungan vaksin yang diproduksi dan digunakan di China terhadap varian yang berbeda harus dipantau dengan hati-hati. Vaksinasi COVID-19 di Indonesia merupakan imunisasi massal yang sedang berlangsung sebagai respon terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia (Perpres Nomor 99 Tahun 2020, n.d.).

Akhir tahun 2022 lalu, Presiden Joko Widodo beserta dengan Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Dalam Negeri mengumumkan bahwa PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dihentikan. Meskipun begitu, COVID-19 masih menjadi pandemi. Pencabutan status PPKM ini menjadi penanda bahwa pemeriksaan PCR dan pemakaian aplikasi pedulilindungi tidak lagi diwajibkan. Selain itu, aktifitas masyarakat dapat kembali normal. Hal ini bukan merupakan akhir dari segala perjuangan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia karena masih banyak masalah kesehatan yang harus dihadapi, seperti masalah gizi bimodal, penyakit kardiovaskular, penyakit degeneratif lainnya, bahkan penyakit emerging yang akan terjadi di kemudian hari.

BELAJAR DARI COVID-19

Pertama, COVID-19 menunjukkan bahwa ketidaksetaraan sumber daya kesehatan dapat berdampak buruk bagi kesehatan global. Penyakit yang kemarin melanda masyarakat dan wilayah yang paling rentan, sehingga dapat menyebabkan korban jiwa yang lebih tinggi di wilayah yang minim sumber daya. Selain itu, daerah padat penduduk dan kumuh kebanyakan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi. Ketidaksetaraan kesehatan akan tetap menjadi agenda utama bahkan setelah COVID-19. Di seluruh dunia, orang miskin memiliki peluang lebih tinggi untuk menderita kesehatan yang buruk.

Kedua, pandemi menunjukkan tekanan lama pada sistem perawatan kesehatan. Di banyak daerah, rumah sakit penuh sesak dan perawatan primer diabaikan pada masa pra-COVID. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang menyebabkan tekanan terhadap kebutuhan infrastruktur layanan kesehatan, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan kembali akan kebutuhan serta memastikan supaya fasilitas kesehatan dapat meningkatkan kapasitas dengan cepat ketika pandemi lain muncul di masa depan.

Ketiga, pandemi telah menunjukkan bahwa lebih mudah menghindari masalah daripada keluar dari masalah. Hal ini sesuai dengan prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati. Masih ingat ketika Bulan Agustus 2021, dimana kondisi hampir semua rumah sakit penuh sehingga menyebabkan orang-orang yang membutuhkan pertolongan tidak mendapatkan bantuan medis yang seharusnya. Hal ini disebabkan oleh karena sistem pencegahan yang buruk, sehingga banyak orang yang menjadi korban dari kesalahan sistem tersebut. Disisi lain, banyak dari mereka yang menggunakan masker, melakukan menjaga jarak, serta tidak keluar rumah dapat selamat dari badai pandemi yang terjadi kemarin.

Keempat,  sistem kesehatan ditantang oleh surplus informasi selama pandemi COVID-19. Beberapa informasi salah dan berpotensi berbahaya berseliweran dimana-mana. Selain itu, ketidakakuratan informasi dan penyebarannya yang cepat melalui berbagai saluran media membuat masyarakat semakin sulit untuk mengidentifikasi fakta dan saran yang dapat diverifikasi dari sumber terpercaya. Rumor misinformasi tentang COVID-19 menjadi masalah besar dalam respons epidemiUpaya yang kuat terlihat oleh negara-negara dalam hal ini baik dari segi kerangka hukum maupun mekanisme komunikasi risiko yang efektif. Kesadaran masyarakat selama pandemi dipastikan dengan keterlibatan aktif media cetak dan elektronik serta melalui program pelibatan masyarakat. Banyak pelajaran yang dipelajari akan diterjemahkan menjadi peningkatan strategi dan pendekatan komunikasi risiko untuk pandemi di masa depan.

AGENDA KESEHATAN POST-COVID-19

Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga bagi insan manusia, 'Health is not everything, but without health everything is nothing'. Istilah mencegah lebih baik daripada mengobati sangatlah sering kita dengar, tetapi sangat banyak orang yang mengabaikan pesan tersebut. Derajat kesehatan sebuah negara sangat ditentukan oleh individunya, ketika individunya sadar akan mencegah penyakitnya sendiri dengan cara menjaga kesehatan lingkungannya dan kebersihan dirinya, maka dia akan terhindar dari penyakit.

PBB telah mencanangkan Sustainable Development Goals (SDG)  yang mencakup 17 bidang target yang diupayakan tercapai pada tahun 2030 mendatang untuk memperbaiki kemaslahatan umat manusia. Kesehatan merupakan salah satu bidang dari SDG yang menjadi sorotan, karena berdampak langsung pada kualitas SDM dan kesejahteraan manusia pada tahun 2030. Kazakhstan, Nigeria, Swaziland dan Timor-Leste merupakan negara dengan perbaikan kesehatan yang pesat. Perbaikan yang sangat pesat ini disebabkan oleh karena Universal Health Coverage (UHC) dan angka kematian anak di negara ini utamanya karena telah memenuhi target diterapkannya yaitu program keluarga berencana dengan menggunakan alat kontrasepsi modern dan adanya bantuan tenaga terampil dalam melahirkan.

Prestasi Indonesia dalam pencapaian target SDG dalam bidang kesehatan tahun 2030 ini memang tidak masuk kelompok terbaik dan terburuk. Permasalahan kesehatan yang terjadi semakin komplek dan memerlukan perhatian khusus dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakatnya dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Cakupan UHC/JKN/KIS (di Indonesia dikelola oleh BPJS) di Indonesia sudah mencapai 80% tahun 2018, hal ini harus ditingkatkan sampai 95-100% seperti di Negara lainnya. Pencapaian UCH sampai 95-100% akan meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS juga harus diikuti dengan upaya preventif yang optimal pula, agar beban BPJS untuk menanggung pasien dengan penyakit degeneratif tidak meningkat di tahun 2030. Indonesia masuk dalam negara yang jika tidak dilakukan upaya khusus, maka akan masuk dalam kelompok negara yang tidak dapat mencapai target SDG 2030.

Tiga indikator upaya pembangunan kesehatan tersebut antara lain: Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Ibu / Maternal Mortality Rate (AKI/MMR), dan Angka Kematian Bayi / Infant Mortality Rate (AKB/IMR). World Health Organization (WHO) memperkirakan sebanyak 830 ibu di dunia meninggal setiap harinya, sedangkan di Indonesia sebanyak 38 ibu jika didasarkan pada AKI 305 akibat penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan persalinan. Sebagian besar kematian tersebut seharusnya bisa dicegah dan diselamatkan. Meningkatkan AKI menunjukkan bahwa banyak Ibu yang seharusnya tidak meninggal, tetapi meninggal karena tidak mendapatkan upaya pencegahan dan penanganan yang seharusnya (World Health Organization (WHO), 2019).

Secara umum telah terjadi penurunan kematian ibu selama periode 1991-2015 dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu, namun tidak berhasil mencapai target MDGs yang harus dicapai yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Hasil survey tahun 2015 memperlihatkan angka kematian ibu tiga kali lipat dibandingkan target MDGs. Target penurunan AKI ditentukan melalui tiga model Average Reduction Rate (ARR) atau angka penurunan rerata kematian ibu seperti pada gamabr di atas. Dari ketiga model tersebut, Kementerian Kesehatan menggunakan model kedua dengan rata-rata penurunan 5,5% pertahun sebagai target kinerja. Berdasarkan model tersebut diperkirakan pada tahun 2030 AKI di Indonesia turun menjadi 131 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2018).

Bali merupakan provinsi dengan AKI terendah (47). Seluruh Jawa dan pulau-pulau di barat memiliki AKI <200/100.000 kelahiran hidup (KH). Provinsi Gorantalo merupakan provinsi dengan AKI tertinggi (tujuh kali lipat lebih tinggi dari Bali: 371 kematian per 100.000 KH). Angka yang sangat tinggi juga terlihat di luar pulau lainnya. Dokter per kepala populasi umumnya lebih tinggi di provinsi dengan AKI yang rendah dan lebih rendah di provinsi dengan AKI yang sangat tinggi (kecuali Sumatera Barat dan Sulawesi Utara) (Cameron L; Suarez DC; Cornwell K, 2019; Kemenkes RI, 2018).

Akses ke layanan kesehatan dan tenaga kesehatan sangat bervariasi di seluruh nusantara. Rerata perempuan tinggal dengan jarak 12 kilometer dari RS dan 3 kilometer dari Puskesmas/Klinik. Rerata jarak ke RS sangat bervariasi dari 0,5 kilometer di Jakarta hingga 29,0 kilometer di Sulawesi Tengah. Puskesmas rata-rata memiliki 10-11 bidan dan 2-3 dokter. Angka ini sangat bervariasi dengan angka median adalah dua dokter dan yang tertinggi 60. Hampir semua desa memiliki pos kesehatan tetapi banyak yang tidak memiliki bidan (rerata jumlah bidan 0,43). Tiga puluh persen desa memiliki pos persalinan, tetapi hanya 6% yang memiliki fasilitas rawat inap (Cameron L; Suarez DC; Cornwell K, 2019).

Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, dan pelayanan keluarga berencana termasuk KB pasca persalinan (Kemenkes RI, 2018). Penyebab utama dari kematian ibu adalah perdarahan (perdarahan postpartum dan perdarahan akibat solusio plasenta, plasenta previa, ruptur uterus, serta penyebab lainnya), penyakit hipertensi kehamilan (preeklamsia/eklamsia), dan sepsis ibu. Hal ini menjadikan pencegahan dan tatalaksana kondisi-kondisi di atas dapat terlaksana (Sulmezoglu AM; Lawrie TA; Hazelgrave N; et al, 2016).

Masalah kesehatan lainnya yang ada di Indonesia adalah masalah penyakit infeksi, terutama TB paru. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular utama dan telah menjadi perhatian kesehatan masyarakat di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 8,6 juta kasus TB dan 1,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit tersebut. Lebih dari setengah juta kasus terjadi pada anak-anak dan 320.000 kematian dilaporkan di antara orang yang terinfeksi HIV (Schwartz et al., 2020; WHO, 2019; World Health Organization (WHO), 2017). Sebagian besar orang yang mengalami TB pada tahun 2019 berada di wilayah Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), dengan persentase yang lebih kecil di Mediterania Timur (8,2%), Amerika (2,9%) dan Eropa (2,5%). Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total kasus global, antara lain: India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh ( 3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%) (WHO, 2021).

Dua negara kontributor terbesar kasus TB adalah India dan Indonesia, dua negara tersebut menempati peringkat pertama dan kedua di dunia dalam hal estimasi jumlah kasus per tahun. Jumlah orang yang baru didiagnosis TB di India meningkat dari 1,2 juta menjadi 2,2 juta antara tahun 2013 dan 2019 (+74%), sedangkan di Indonesia jumlahnya naik dari 331.703 pada 2015 menjadi 562.049 pada 2019 (+69%) (WHO, 2021). Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017. Jumlah kasus baru TB tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018a). Kasus TB paru rencananya harus dieliminasi pada tahun 2030. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak. Fokus penanganan TB paru adalah pada deteksi dan pengobatan. Slogan penanganan TB di Indonesia adalah TOSS TB atau "Temukan TBC Obati Sampai Sembuh".

Adapun pemeriksaan TB harus dilakukan pada mereka yang mengalami batuk lebih dari dua minggu, penurunan berat badan, keringat malam, serta pada mereka dengan kontak erat dengan pasien TB. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah uji BTA yang dapat dilakukan di Puskesmas terdekat. Pengobatan TB harus dilakukan sampai tuntas selama empat sampai dengan enam bulan (Organization, 2022).

Permasalahan lain yang dihadapi oleh kita adalah masalah gizi bimodal, tetapi yang paling meresahkan adalah gizi buruk. Gizi buruk pada anak masih menjadi masalah utama kesehatan secara global. Sebanyak 19 juta anak usia pra-sekolah di Afrika dan Asia Tenggara diduga mengalami gizi buruk. Gizi buruk juga tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di seluruh dunia. Anak-anak dengan gizi buruk memiliki risiko kematian sembilan kali lebih tinggi daripada anak tanpa gizi buruk.(Nabukeera-Barungi N, 2018) 7,6 juta kematian setiap tahun pada anak-anak berusia <5 tahun, 35% disebabkan oleh masalah gizi dan 4,4% secara khusus disebabkan oleh gizi buruk (Adal TG; Kote M, 2016; Nabukeera-Barungi N, 2018).

Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Sjarif et al., 2014). World Health Organization (WHO) mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan seluler antara pasokan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh terhadap mereka untuk menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi tertentu. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang (Nix S, 2012).

Stunting dan kekurangan gizi lain nya yang terjadi pada 1.000 HPK di samping berisiko pada hambatan pertumbuhan fisik dan kerentanan anak terhadap penyakit, juga menyebabkan hambatan perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan. Stunting dan masalah gizi lain diperkirakan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3% per tahun (World Bank, 2014). Global Nutrition Report tahun 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara (International Food Policy Research Institute, 2014). Prevalensi stunting Indonesia merupakan tertinggi kedua di Asia Tenggra, setelah Cambodia (World Bank, 2014).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018), yang terdiri dari 11,5% balita sangat pendek dan 19,3%balita pendek. Hal ini telah memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2019 yang berkisar 28%. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek terbanyak pada balita menurut propinsi tahun 2018 berturt-turut ditempati oleh Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Aceh (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018b).

Bentuk kekurangan gizi bisa disebabkan karena beberapa hal, antara lain asupan makanan berkualitas rendah, pola asuh ibu terhadap anak yang buruk, akses layanan kesehatan yang tidak memadai dan lingkungan sekitar yang tidak bersih dan tidak sehat. Beberapa penelitian mengidentifikasi diare merupakan salah satu faktor resiko kejadian mortalitas pada pasien anak dengan gizi buruk. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa faktor resiko yang mempengaruhi, antara lain hipotermia, dehidrasi, anemia, sariawan. Infeksi HIV juga merupakan salah satu komplikasi medis yang meningkatkan kejadian mortalitas pada anak dengan gizi buruk (Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2016; Kemenkes RI, 2019; Pritasari; Damayanti D; Lestari NT, 2017).

Penangan gizi buruk harus didasarkan pada kesadaran akan kolaborasi pemerintah yang menaungi bidang sosial, kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan. Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks, dimana penyebab masalah gizi dapat berupa pendidikan serta pekerjaan yang tidak memadai. Kemudian, maslaah lain dapat menyebabkan kekurangan gizi adalah ketersediaan pangan dan politik serta ekonomi yang tidak stabil. Masalah kesehatan yang mendasari serta kemiskinan juga dapat menjadi penyebab langsung dari masalah gizi. Hal ini tentunya bukan hanya tugas sektor kesehatan, tetapi tugas lintas sektor dan lintas program.

Memperbaiki masalah kesehatan akan berdampak pada menurunnya kemungkinan terjadinya pandemi di masa depan. Hal ini disebabkan oleh karena perbaikan status gizi, perbaikan infrastruktur, pemerataan SDM kesehatan, serta kewaspadaan akan pencegahan penyakit akan memperbaiki kondisi kesehatan kita di masa depan.

REFERENSI

  • Adal TG; Kote M. (2016). Incidence and Predictors of Mortality among Severe Acute Malnourished Under Five Children Admitted to Dilla University Referal Hospital. J Biol, 14.
  • Cameron L; Suarez DC; Cornwell K. (2019). Understanding the determinants of maternal mortality: An observational study using the Indonesian Population Census. PLoS Med, 3(1), 1--18.
  • Centers for Disease Control and Prevention. (2020). 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV).
  • Gorbalenya AE. (2020). Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus -- The species and its viruses, a statement of the Coronavirus Study Group. BioRxiv, 2(7), 93--97.
  • Haque, A., & Pant, A. B. (2020). Efforts at COVID-19 vaccine development: challenges and successes. Vaccines, 8(4), 739.
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2016). Konsensus: Asuhan Nutrisi pada Bayi Prematur. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
  • International Food Policy Research Institute. (2014). The 2014 Global Nutrition Report.
  • Kemenkes RI. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
  • Kemenkes RI. (2019). Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita. Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018a). Infodatin.
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018b). Riset Kesehatan Dasar. http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018/Hasil Riskesdas 2018.pdf
  • Nabukeera-Barungi N. (2018). Predictors of mortality among hospitalized children with severe acute malnutrition: a prospective study from Uganda. Pediatr Res, 7.
  • Nix S. (2012). William's Basic Nutrition & Diet Therapy. Elsevier Mosby.
  • Organization, W. H. (2022). WHO operational handbook on tuberculosis: module 4: treatment: tuberculosis care and support.
  • Perpres Nomor 99 Tahun 2020. (n.d.). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
  • Pritasari; Damayanti D; Lestari NT. (2017). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
  • SATGAS. (2020). Peta Sebaran Covid-19.
  • Schwartz, N., Price, S., & Pratt, R. (2020). Tuberculosis - United States. Morb Mortal Wkly Rep, 69(11), 286--289.
  • Sjarif, D., Lestari, E., & Mexitalia, M. (2014). Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
  • Sulmezoglu AM; Lawrie TA; Hazelgrave N; et al. (2016). Reproductive, Maternal, Newborn, and Child Health: Disease Control Priorities Vol 2 (2 ed.). The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
  • WHO. (2019). Global Tuberculosis Report 2019.
  • WHO. (2021). Global tuberculosis report 2021. World Health Organization. https://www.who.int/publications/digital/global-tuberculosis-report-2021
  • WHO Indonesia. (2021). Coronavirus disease (COVID-19).
  • World Bank. (2014). Better Growth Through Improved Sanitation and Hygiene Practices.
  • World Health Organization (WHO). (2017). WHO global tuberculosis report 2016.
  • World Health Organization (WHO). (2019). Maternal mortality.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun