Mohon tunggu...
Agustiawan
Agustiawan Mohon Tunggu... Dokter - Doktermu

Dokter | Promotor Kesehatan | Humoris | Dapat Diandalkan Instagram: @agustiawan28 @hep.id @hep.program

Selanjutnya

Tutup

Healthy

BPJS, Jangan Naik

9 Desember 2019   02:24 Diperbarui: 9 Desember 2019   02:38 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

 

BPJS, JANGAN NAIK!

Badan Penyelenggara Jaminan Soaial atau yang kita kenal dengan BPJS merupakan badan yang dibentuk negara di tahun 2014 untuk pencapaian Universal Health Coverage (UHC). Tujuan dari pembentukkan badan ini sangatlah mulia, yaitu untuk pemerataan keterjangkauan pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk Indonesia. Dalam ulasan ini yang mau kita bahas adalah BPJS Kesehatan, bukan BPJS Ketenagakerjaan (jadi setiap kata BPJS dalam ulasan ini adalah BPJS Kesehatan ya)

Kepesertaan BPJS ini terdiri dari Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti mereka yang mendapatkan bantuan KIS (Kartu Indonesia Sehat) maupun dari APBD. Peserta PBI tidak perlu membayar premi bulanan dengan surat sakti dari Kepala Desa/Lurah/Camat dan Dinas Sosial. Sistem yang diciptakan sebenarnya sangat baik, Pemerintah juga telah membuat kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH), dimana setiap anggota PKH akan otomatis akan mendapatkan KIS dan KIP (Kartu Indonesia Pintar).

Kepesertaan Non-PBI seperti mereka yang menrima upah (PNS maupun swasta) dan Non-PBI Mandiri yang bukan penerima upah seperti kami para dokter, pengacara, notaris, dan lain sebagainya. Sayangnya, realita di lapangan masih banyak mereka yang sebenarnya dari kalangan menengah ke bawah yang malah "nyasar" mengurus BPJS Non-PBI yang mandiri karena status mereka yang tidak jelas. Misalnya mereka buruh tani, pekerja serabutan, maupun buruh kebun dengan gaji di bawah UMR yang seharusnya mendapatkan Jaminan Sosial di BPJS-TK.

Kenaikan iuran BPJS sebenarnya tak lain karena empat masalah yang pernah di sampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan, antara lain: iuran BPJS yang sebelumnya rendah tidak sebanding dengan pemakaiannya, tingkat keaktifan peserta Non-PBI bukan penerima upah yang rendah, peserta hanya membayar ketika membutuhkan (sakit), dan pembiayaan penyakit katastropik. Keempat alasan di atas yang akhirnya membuat kesimpulan bahwa "Premi BPJS harus dinaikkan"

Salah satu pentolan dari Persatuan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. Patrianef, Sp.B-KV juga pernah menyampaikan kajiannya mengenai BPJS. Beliau berpendapat bahwa, "BPJS sebenarnya sudah mengalami surplus dari peserta PBI (mereka yang preminya dibayarkan oleh negara), sedangkan penyebab kerugian adalah dari tunggakan peserta Non-PBI, dan defisit BPJS akan berubah menjadi surplus ketika tunggakan tersebut terbayar". 

Selain itu, beberapa regulasi yang dibuat oleh BPJS juga sebenarnya malah menghamburkan uang/biaya pelayanan kesehatan. Contohnya: pasien dengan kasus peritonitis maupun apendisitis harus menjalani pemeriksaan penunjang dulu sebelum di operasi, padahal kenyataannya kedua penyakit tersebut dapat confirm hanya dengan pemeriksaan fisik. Jangan sampai di kasus selanjutnya harus memeriksa foto rongsen pada pasien dengan tension pneumothoraks, karena akan berdampak pada tertundanya tatalaksana.

Dari permasalahan di atas, kenaikan Premi BPJS seolah-olah diibaratkan "menumbalkan orang-orang yang rajin bayar premi". Kenapa saya katakan seperti itu? Sangat jelas dari kedua pendapat di atas, salah satu yang menyebabkan kenaikan premi BPJS adalah karena ada yang tidak bayar atau lemahnya sistem penagihan yang dibuat oleh BPJS. Jadi, premi dinaikkan dua kali lipat seolah-olah kita yang aktif membayar premi harus membayar premi mereka yang pasif. Pertanyaannya sekarang, bagaimana ketika nanti BPJS tetap mengalami defisit setelah menaikkan premi karena lemahnya sistem mereka?? apakah premi BPJS kita akan dinaikkan lagi? Mungkin suatu saat premi BPJS kita bisa mencapai 500 ribu per kepala.

Kondisi seperti ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan. DPR RI dan Kementerian Kesehatan jangan memanjakan BPJS dengan langsung meng-aamiin-kan kenaikan premi, mereka juga harus muhasabah diri. Apakah dana kesehatan di APBN RI sudah mencapai 8%? Apa upaya yang telah dilakukan Kemenkes RI dalam mengandeng pihak swasta dalam sistem pelayanan kesehatan nasional? terutama yang sehubungan dengan keterjangkauan pelayanan kesehatan dari segi akses dan harga.

Sistem pemerintahan kita yang desentralisasi kenapa tidak juga diikuti oleh desentralisasi dalam pengurusan jaminan sosial kesehatan? Kita lihat dahulu ketika Aceh dengan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), atau Bangka dengan Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang, maupun Bali dan Sumatera Selatan dengan Jaminan Sosial Daerahnya yang merupakan janji politik kepala daerahnya, apakah menjadi polemik yang berlarut seperti BPJS sekarang? kenapa hal-hal seperti itu harus dihapuskan?

Harusnya, sistem pemerintahan yang sudah desentralisasi juga dimanfaatkan untuk desentralisasi di bidang kesehatan. Semua Kabupaten dan Propinsi saya yakin memiliki RS Daerahnya masing-masing. Kementerian Kesehatan (Pusat) juga memiliki RS vertikal yang tersebar di banyak propinsi. Hal ini harusnya dimanfaatkan dengan memberikan keeluasaan daerah untuk mengatur Jaminan Sosial Kesehatannya sendiri, karena Kesehatan selalu menjadi janji politik dari Kepala Daerah. Pastinya pernah denger kan kepala daerah bilang "Berobat gratis" dan lain sebagainya.

Beberapa buku dalam teorinya mengatakan bahwa keterlibatan pihak swasta, desentralisasi kesehatan maupun anggaran negara sebanyak 8-10% itu harus ada untuk mendukung akses pelayanan kesehatan yang setara. Negara, jangan biarkan masyarakat membayar pajak hidup sebesar 50.000-160.000 rupiah perkepala perbulannya.

Kenapa sih masyarakat enggan membayar BPJS??

Kalau kita gali jawaban di hati nurani kita, pasti jawabannya "Saya kan tidak sakit, kenapa saya harus bayar?"

Hal ini sebenarnya bisa ditangani dengan cara meninggalkan sistem asuransi tradisional. Iya, BPJS sekarang menggunakan sistem asuransi tradisional. Disini, saya ingin mengatakan bahwa sebaiknya BPJS bertransformasi menggunakan sistem asuransi Link. Hal ini akan memberikan double win atau win win solution kepada masyarakat dan BPJS sendiri.

Sistem asuransi link merupakan sistem asuransi yang digunakan oleh beberapa asuransi besar. Jadi, peserta dipersilahkan memilih membayar premi dengan nominal tertentu kemudian mendapatkan pelayanan dan uang yang dikumpulkan dari premi tersebut akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Sebenarnya BPJS-TK sudah melakukannya meskipun tidak sefantastis asuransi swasta lainnya.

Sebelumnya, saya pernah bekerja di asuransi swasta asal Inggris dan tentunya merupakan tiga asuransi swasta terbesar di Dunia. Mereka menggunakan sistem asuransi Link, sehingga masyarakat mau membayarkan premi sebenar 250.000 sampai satu bahkan lima juta rupiah perkepala perbulannya. Tapi, masyarakat ragu dan takut karena menganggap asuransi tersebut berasal dari luar negeri, mungkin takut uangnya dibawa kabur kali ya kayak kasus di jaman krisis moneter dulu.

Nah, bagaimana kalo sistem itu digunakan oleh BPJS? apakah orang akan keberatan membayar premi jika tau kalau uang preminya akan dikembalikan ketika dia sudah berusia 50 tahun? Kemudian di usia 50 tahun ke atas diberikan BPJS Gold dengan premi rendah misalnya.

Yang harus masyarakat pahami. Kenaikan premi BPJS bukanlah permintaan dari para dokter, karena kenaikan premi BPJS juga tidak berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan dokter dari kapitasi di Puskesmas atau Klinik maupun rawatan di Rumah Sakit. Hal ini juga sangat sangat disayangkan.

Berdasarkan buku-buku yang pernah saya baca. Kenaikan premi dari asuransi seperti ini akan memengaruhi pembagian pendapatan masyarakat. Misalnya ada keluarga yang berpenghasilan 2,5 juta dengan jumlah aggota keluarga 5 orang. Artinya dia harus menyisihkan uang yang lebih banyak daripada sebelumnya untuk "PAJAK HIDUP" yang namanya BPJS ini. Hal tersebut juga bisa menyebabkan keluarga tersebut akan mengurangi porsi untuk pendidikan maupun untuk makanan. Bayangin nanti anak orang kena gizi buruk, terus busung lapar, bukankah itu akan menjadi dalam tanda kutip beban pemerintah? orang yang asupan gizinya kurang juga bukankah akan mudah terkena penyakit infeksi?

PEMERINTAH, TOLONG JANGAN PELIT UNTUK MEMAJUKAN SDM BANGSA INDONESIA!

Terakhir, perkuat sisi preventif dan promotif serta investasi di bidang pendidikan yang akan saya bahas di bagian lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun