Kisah Yang Tersisa Dari Ekspedisi Kampung Adat Mului 2022 :
KALPATARU SERTA CERITA VENTI DAN DERITA BERUNTUN SEORANG ANAK BANGSA
*Agus Tianur
Kunjungan kerja jajaran Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang digawangi Wakil Gubernur Hadi Mulyadi ke Kabupaten Paser, menyisakan sejumlah cerita menarik yang mungkin sulit terlupakan, khususnya di saat ekspedisi menyentuh Kampung Adat Mului, Desa Swan Slutung Kecamatan Muara Komam Kabupaten Paser. Perjalanan melalui pekatnya hutan belantara dengan medan yang sangat berat, tanjakan dan turunan ekstrim serta genangan lumpur, ditambah banyaknya jembatan darurat dari batang pohon, tebing curam, Â menjadi komentar umum peserta ekspedisi kali ini. Hal ini sesungguhnya bisa dipahami mengingat kampung tersebut dari informasi digital yang kami miliki berada di ketingginan 900 dpl.
Dari situs resmi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yang dibentuk oleh Aliansi Masyaratak Adat Nusantara (AMAN), Kampung Adat Mului memiliki riwayat sejarah cukup panjang yang  pemukimannya berpindah pindah (nomaden), meskipun masih dalam wilayah yang sama di Karst Meratus hulu akhir Sungai  Kendilo, hingga akhirnya sampai di Kampung Adat yang mereka tempati secara permanen saat ini.Â
Seingat saya sekitar dua dasawarsa lebih, pernah menginjakkan kaki ke Desa Swan Slutung yang saat itu berada di pinggiran sungai Kendilo, namun sekarang berpindah jauh ke daratan setelah terbukanya akses jalan, dan nampaknya seperti itu juga Kampung Adat Mului yang merupakan bagian dari Desa tersebut. Keterisoliran mereka dengan pemukiman masyarakat lainnya membuat warga Mului masih relatif mampu mempertahankan tradisi dan budaya masa lalunya dari tekanan peradaban modern dan infiltrasi dunia digital  termasuk dalam menentukan jabatan Kepala Adat yang merupakan kekuasaan yang di wariskan turun temurun, mirip dengan sejarah  pergantian dinasti kekuasaan raja-raja dimasa lalu.
Kedatangan rombongan wakil Gubernur Kaltim menghadirkan kebahagiaan tersediri bagi Warga Kampung Mului yang berpenghuni 145 jiwa, mengingat kegiatan kunjungan ini merupakan kehadiran pejabat tertinggi pertama sekaligus membawa rombongan terbanyak yang pernah menginjakan kakinya di Kampung Adat Mului ini. Kehadiran ini juga semakin melengkapi kebahagian sebagian warga atas penghargaan Kalpataru yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden RI kepada Kepala Kampung Adat Mului sebagai penyelamat lingkungan, beberapa hari sebelum rombongan tiba di Kampung tersebut.
Kebahagian warga Mului atas kedatangan robongan Pemerintah Prov. Kaltim dan juga Pemerintah Kabupaten Paser disambut berbagai ungkapan kegembiraan dari hampir semua warga, tidak terkecuali anak-anak dan kalangan remaja Kampung Adat Mului. Namun Mata saya sedikit terusik pada sosok salah satu anak yang berdiri memojok di teras rumahnya dengan ekspresi wajah yang berbeda dengan temannya yang lain. Anak perempuan itu nyaris tidak beranjak dari teras depan rumahnya, pun ketika Wakil Gubernur Kaltim mampir menengok salah satu penghuninya yang sedang dalam keadaan sakit.
Tatapan wajah yang kosong, tanpa eksprersi kegembiraan, seperti memperlihatkan sesuatu yang sedang mememenuhi pikirkannya, hal yang nyaris luput dari perhatian banyak orang saat itu. Kedua kaki ini pun terasa berat untuk beranjak, tertahan keinginan untuk mengulik dan dorongan hati serta pikiran saya untuk mencari tahu, meski rombongan lainnya sudah menuju balai kampung tempat acara penyambutan rombongan di pusatkan. Venti (13), nama anak tersebut, ketika saya memulai berkomunikasi dengan menanyakan namanya, sambil juga sesekali saya berbicara dengan keluarga lainya yang  berada dirumah tersebut. Venti hanya dua besaudara yang juga sama-sama perempuan namun usianya berbeda 4 tahun lebih tua darinya, bernama Rasya.
Pada awalnya saya berkesimpulan, mungkin ekspresi kesedihan dari wajahnya dikarenakan keadaan kesehatan ibunya, yang baru satu minggu sebelum rombongan tiba mengalami depresi (ODG).  Siapapun lebih-lebih seorang anak yang semenjak kecil dirawat, bercanda dan mendapat kasih sayang dari ibunya kandungnya, harus melihat kenyataan yang amat sangat menyedihkan, kaki tangannya terikat di dalam rumah sendiri yang hari-hari dia jaga dan duduk di depan ibunya. Karena hanya ini satu-satunya cara yang dilakukan keluarganya guna mengindari amukan yang mungkin bisa membahayakan keselamatan orang lain. Fenomena ini lajim dilakukan masyarakat  di kampung-kampung yang relatif terisolir seperti halnya Kampung Adat Mului ini.
Dari percakapan saya dengan Venti, terungkap banyak hal, yang berkaitan dengan harapan, keinginan  serta cita-citanya, salah satunya bahwa dia baru  satu tahun lalu lulus Sekolah Dasar (SD) di Desa Swan Slutung, yang jaraknya 15 Km dari tempat tinggalnya dari Kampung Adat Mului sekarang. Ketika memulai perjalanan dari Desa Swan Slutung ke Kampung Adat Mului, dengan waktu tempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua untuk jarak 15 Km tersebut membutuhkan waktu 2 jam melewati medan yang sunguh sangat berat, dan dalam keadaan normal. Saya diawal perjalanan sudah membayangkan betapa berat tantangan,  perjuangan dan resiko yang harus dihadapi anak-anak Kampung Mului, untuk bisa mendapatkan akses pendidikan dasar, termasuk Venti tentunya.
Selama menempuh pendidikan Sekolah Dasar, dia menumpang tinggal di rumah kerabat jauh, selama 6 tahun. Kondisi keluarga yang ditempatinya juga keluarga yang tidak berada, hanya bermodal niat baik dan ketulusan mereka menampung Venti selama menempuh pendidikan di Desa Swan Slutung. Banyak kisah sedih yang di lewatinya selama menempuh pendidikan, yang mungkin tidak terbayangkan oleh kita yang tinggal di perkotaan. Pernah dia berjalan kaki pulang ke Kampung Mului karena tidak ada angkutan roda dua yang bisa mengantarkannya. Seringkali juga kendaraan yang ditumpanginya tiba-tiba rusak di tengah jalan, atau tiba-tiba hujan lebat turun, sehingga menyebabkan kendaraan yang ditumpanginya tidak bisa menembus hutan belantara untuk menuju kampung halamannya, untuk sekedar melepas rindu bertemu orang tuanya.
Kisah Venti mengingatkan saya sebuah Film Karya Andre Hirata Laskar Pelangi yang mengisahkan tentang dunia pendidikan serta sempat menjadi Box Office dan memimpin rekor jumlah penonton sebelum dilampaui KKN Desa Penari Warkop DKI Reborn dan Dilan 1990.  Namun apa yang diceritakan dalam film tersebut  sangat tidak sebanding dengan kisah perjuangan Venti dan juga anak-anak Kampung Adat Mului dalam mendapatkan pelayanan pendidikan. Kalau di film laskar pelangi lebih kepada kondisi sekolah, perjuangan seorang guru dan semangat anak-anak, namun di Kampung Adat Mului masalahnya jauh lebih rumit dan  lebih komplek. Kita bayangkan anak usia 7 atau 8 tahun harus melewati hutan belantara dan medan jalan yang berat hanya untuk menempuh pendidikan.
Kembali kepada cita-cita Venti, seiring dengan masalah yang dihadapi dengan kondisi ibu kandungnnya, maka harapan untuk bisa meneruskan sekolahnya semakin terkubur. Hari-hari yang dipikirkannya adalah tentang keadaan ibu kandungnya. Setiap saat dia harus duduk bersama kakak kandungnya menatap sedih didepan ibunya yang kaki tangannya terikat. Sang Ibu selalu meronta, berontak, dan diam membisu tanpa suara, tanpa kata-kata, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan Venti sebelumnya.
Dugaan dan mungkin juga sebuah kesimpulan dari saya bahwa apa yang diderita ibu kandungnya juga bagian akumulasi kesedihan  tentang nasib dan masa depan kedua anaknya, yang sama-sama hanya bisa menyelesaikan sekolah  tingkat SD, meskipun sesungguhnya hal ini juga dialami oleh anak-anak lainnya. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, mengapa ketika Venti ketika berpisah dengan ibu nya di saat mengikuti pendidikan sekolah dasar, dan bertempat tinggal dengan kerabat jauh yang kondisi nya juga sangat tidak berada, sama-sama pencari hasil hutan, kesehatan ibunya saat itu baik-baik saja. Namun justru ketika Venti satu tahun berkumpul kembali bersama ibu kandungnya, saat dia tidak mungkin melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya, keadaan kesehatan ibunya justru berubah.
Masalah pendidikan memang menjadi persoalan serius bagi warga Kampung Adat Mului, untuk bisa melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus ke desa tetangganya, yaitu Desa Muara Payang, yang jaraknya 35 Km dari Kampung Mului dan akses jalan ke desa tersebut tidak kalah beratnya, Â karena di Desa Swan Slutung hanya ada Sekolah Dasar. Bagi Venti bisa melanjutkan ke jenjang SMP tentu sangat berat mengingat di desa tersebut dia tidak memiliki kerabat atau keluarga sama sekali, sehingga tidak memiliki tempat untuk menumpang tinggal, ditamabh keadaan ekonomi orang tuanya yang sangat memprihatinkan, hampir sama dengan keluarga lainya di desa tersebut, sehingga pasti akan kesulitan membiayai berbagai keperluan sekolahnya.
Tahun ini Penghargaan Kalpataru telah di terima warga sebagai sebuah penghargaan bangsa dan negara ini kepada mereka, banyak apresiasi dan ucapan selamat diberikan berbagai pihak atas prestasi tersebut. Hal ini patut kita pahami karena Kalpataru merupakan salah satu penghargaan yang paling bergengsi yang diberikan negara kepada pribadi, kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atas jasa-jasa nya menyelamatkan lingkungan hidup. Sayapun merasa bangga atas penghargaan yang mereka dapatkan ini, mengingat masyarakat yang sebagian merupakan warga yang nyaris tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik, terbelakang, terbatasnya akses informasi, tapi justru memiliki kesadaran yang lebih baik dalam melindungi hutan alam Kalimantan yang berada dalam wilayah Kampungnnya.
Bagi warga Kampung Adat Mului, penghargaan ini bisa jadi hanya sebuah hiburan sesaat, karena pengargaan tidak berkorelasi dengan perubahan pada akses pendidikan warganya, pelayanan kesehatan yang mereka dapatkan, serta kemudahan sarana parasarana transportasi  dan kondisi lingkungan pemukimannya.  Setelah menerima Kalpataru tetap saja keadaan kehidupan sehari-hari yang mereka lalui sama  seperti yang mereka rasakan sebelumnya. Lebih-lebih manakala ekpektasi penghargaan ini oleh masyarakatnya sebagai bentuk penghargan kelak akan merubah nasib warganya, dan ternyata harapan tersebut tidak terwujud, bisa kita bayangkan betapa kesedihan warganya akan semakin berlanjut, tanpa kita mampu memutus mata rantainya.
Kehidupan dalam banyak kasus di nilai sebagai sebuah survival of the fittes, yang kuat selalu menjadi pemenang dan yang kalah akan menjadi tumbang, namun tidak seyogyanya untuk mendapatkan akses pada kebutuhan dasar, seperti mendapatkan pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan lainya. Sudah seharusnya semua masyarakat bisa mendapatkannya tanpa prasyarat dan pertimbangan apapun.
Gerakan Global tentang pendidikan untuk semua (education for all) yang beberapa dasawarsa lalu di wacanakan Badan Dunia Unesco, dengan melihat kasus yang dilami Venti  nampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Sudah banyak hasil kajian telah menunjukan bahwa pendidikan yang selama ini dibangun masih menimbulkan berbagai persoalan disparitas. Akses pada pendidikan selama ini masih banyak dinikmati dan memberikan kemudahan bagi keluarga yang mampu serta lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan dari pada pedesaan atau pinggiran. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin melebar disparitas tersebut. Subsidi pendidikan oleh negara nampaknya lebih banyak dinikmati orang dari kelas atas yang tinggal di perkotaan.
Saya merasa beruntung, karena di rumah Venti ditemani Sumardin, seorang pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Paser yang banyak berdialog tentang proses penyakit di alami ibunya dengan para kerabat dan keluarganya, Saya terharu, ketika justru fokus perhatian Sumardin semakin beralih kepada Venti, tidak lagi kepada ibunya yang sakit. Nampaknya dia pun juga punya rasa kemanusiaan dan keprihatinan yang sama. Kami sama -- sama memberikan harapan, Â dukungan, dorongan, dan motivasi yang sama kepada keluarga tersebut agar Venti bisa melanjutkan sekolahnya. Kami merasa Venti adalah seorang anak yang pintar, santun dan sangat berbudi pekerti luhur.
"Pa Agus, sebagai abdi negara saya sudah berkujung ke hampir semua pelosok dan daerah terpencil di Kabupaten ini, dalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan kepada masyarakat, namun hanya kali ini saya menemukan kisah sedramatis ini", ungkap Sumardin kepada saya. Dia pun membujuk dan meminta kepada keluarga agar Venti ikut dengan nya dan melanjutkan sekolahnya.
Usai dari rumah Venti sayapun pergi mengikuti pertemuan dibalai pertemuan kampung, namun pikiran saya masih terbawa larut dalam kepedihan. Setelah acara selesai, saya mengajak rekan saya dr. David, Ibu Lisa dan Syirajudin untuk kerumah Venti dan menceritakan tentang keluarga tersebut, karena yang mereka ketahui sebelumnya hanya kisah seorang ibu yang depresi dan Orang Dalam Gangguan Jiwa (OGD). Merekapun nampak menujukan eksepresi kerpihatinan dan kesedihan dan turut memberikan dukungan agar Venti melanjutkan sekolahnya dan memberikan berapa jalan dan pilihan.
Hari ini, besok dan entah sampai kapan, adalah hari-hari yang saya tunggu dengan penuh kesedihan, yakni menunggu kabar apakan Venti terutama keluarganya bersedia melepas Venti untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Â Pesan saya terakhir kepada kelurganya dan rekan-rekan saya yang ada di tempat tersebut, mungkin cukup ibunya yang sakit, dan sulit untuk disembuhkan, namun jangan sampai karena ini Venti juga ikut menderita dalam menghadapi masa depannya. Cukup hanya satu yang menjadi korban dan jangan sampai keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H