Mohon tunggu...
Agus Tianur
Agus Tianur Mohon Tunggu... Lainnya - Samarinda Kaltim

Alam dan Isinya merupakan keindahan tersendiri yang memiliki kenikmatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalpataru Serta Cerita Venti dan Derita Beruntun Seorang Anak Bangsa

17 Juni 2022   14:02 Diperbarui: 17 Juni 2022   14:10 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu kandung Venti yang baru satu minggu sebelum rombongan tiba mengalami depresi (ODG) dan kaki tangannya terikat di dalam rumah sendiri, dokpri
Ibu kandung Venti yang baru satu minggu sebelum rombongan tiba mengalami depresi (ODG) dan kaki tangannya terikat di dalam rumah sendiri, dokpri

Dari percakapan saya dengan Venti, terungkap banyak hal, yang berkaitan dengan harapan, keinginan  serta cita-citanya, salah satunya bahwa dia baru  satu tahun lalu lulus Sekolah Dasar (SD) di Desa Swan Slutung, yang jaraknya 15 Km dari tempat tinggalnya dari Kampung Adat Mului sekarang. Ketika memulai perjalanan dari Desa Swan Slutung ke Kampung Adat Mului, dengan waktu tempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua untuk jarak 15 Km tersebut membutuhkan waktu 2 jam melewati medan yang sunguh sangat berat, dan dalam keadaan normal. Saya diawal perjalanan sudah membayangkan betapa berat tantangan,  perjuangan dan resiko yang harus dihadapi anak-anak Kampung Mului, untuk bisa mendapatkan akses pendidikan dasar, termasuk Venti tentunya.

Selama menempuh pendidikan Sekolah Dasar, dia menumpang tinggal di rumah kerabat jauh, selama 6 tahun. Kondisi keluarga yang ditempatinya juga keluarga yang tidak berada, hanya bermodal niat baik dan ketulusan mereka menampung Venti selama menempuh pendidikan di Desa Swan Slutung. Banyak kisah sedih yang di lewatinya selama menempuh pendidikan, yang mungkin tidak terbayangkan oleh kita yang tinggal di perkotaan. Pernah dia berjalan kaki pulang ke Kampung Mului karena tidak ada angkutan roda dua yang bisa mengantarkannya. Seringkali juga kendaraan yang ditumpanginya tiba-tiba rusak di tengah jalan, atau tiba-tiba hujan lebat turun, sehingga menyebabkan kendaraan yang ditumpanginya tidak bisa menembus hutan belantara untuk menuju kampung halamannya, untuk sekedar melepas rindu bertemu orang tuanya.

Kisah Venti mengingatkan saya sebuah Film Karya Andre Hirata Laskar Pelangi yang mengisahkan tentang dunia pendidikan serta sempat menjadi Box Office dan memimpin rekor jumlah penonton sebelum dilampaui KKN Desa Penari Warkop DKI Reborn dan Dilan 1990.  Namun apa yang diceritakan dalam film tersebut  sangat tidak sebanding dengan kisah perjuangan Venti dan juga anak-anak Kampung Adat Mului dalam mendapatkan pelayanan pendidikan. Kalau di film laskar pelangi lebih kepada kondisi sekolah, perjuangan seorang guru dan semangat anak-anak, namun di Kampung Adat Mului masalahnya jauh lebih rumit dan  lebih komplek. Kita bayangkan anak usia 7 atau 8 tahun harus melewati hutan belantara dan medan jalan yang berat hanya untuk menempuh pendidikan.

Kembali kepada cita-cita Venti, seiring dengan masalah yang dihadapi dengan kondisi ibu kandungnnya, maka harapan untuk bisa meneruskan sekolahnya semakin terkubur. Hari-hari yang dipikirkannya adalah tentang keadaan ibu kandungnya. Setiap saat dia harus duduk bersama kakak kandungnya menatap sedih didepan ibunya yang kaki tangannya terikat. Sang Ibu selalu meronta, berontak, dan diam membisu tanpa suara, tanpa kata-kata, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan Venti sebelumnya.

Dugaan dan mungkin juga sebuah kesimpulan dari saya bahwa apa yang diderita ibu kandungnya juga bagian akumulasi kesedihan  tentang nasib dan masa depan kedua anaknya, yang sama-sama hanya bisa menyelesaikan sekolah  tingkat SD, meskipun sesungguhnya hal ini juga dialami oleh anak-anak lainnya. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, mengapa ketika Venti ketika berpisah dengan ibu nya di saat mengikuti pendidikan sekolah dasar, dan bertempat tinggal dengan kerabat jauh yang kondisi nya juga sangat tidak berada, sama-sama pencari hasil hutan, kesehatan ibunya saat itu baik-baik saja. Namun justru ketika Venti satu tahun berkumpul kembali bersama ibu kandungnya, saat dia tidak mungkin melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya, keadaan kesehatan ibunya justru berubah.

Masalah pendidikan memang menjadi persoalan serius bagi warga Kampung Adat Mului, untuk bisa melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus ke desa tetangganya, yaitu Desa Muara Payang, yang jaraknya 35 Km dari Kampung Mului dan akses jalan ke desa tersebut tidak kalah beratnya,  karena di Desa Swan Slutung hanya ada Sekolah Dasar. Bagi Venti bisa melanjutkan ke jenjang SMP tentu sangat berat mengingat di desa tersebut dia tidak memiliki kerabat atau keluarga sama sekali, sehingga tidak memiliki tempat untuk menumpang tinggal, ditamabh keadaan ekonomi orang tuanya yang sangat memprihatinkan, hampir sama dengan keluarga lainya di desa tersebut, sehingga pasti akan kesulitan membiayai berbagai keperluan sekolahnya.

Tahun ini Penghargaan Kalpataru telah di terima warga sebagai sebuah penghargaan bangsa dan negara ini kepada mereka, banyak apresiasi dan ucapan selamat diberikan berbagai pihak atas prestasi tersebut. Hal ini patut kita pahami karena Kalpataru merupakan salah satu penghargaan yang paling bergengsi yang diberikan negara kepada pribadi, kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atas jasa-jasa nya menyelamatkan lingkungan hidup. Sayapun merasa bangga atas penghargaan yang mereka dapatkan ini, mengingat masyarakat yang sebagian merupakan warga yang nyaris tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik, terbelakang, terbatasnya akses informasi, tapi justru memiliki kesadaran yang lebih baik dalam melindungi hutan alam Kalimantan yang berada dalam wilayah Kampungnnya.

Bagi warga Kampung Adat Mului, penghargaan ini bisa jadi hanya sebuah hiburan sesaat, karena pengargaan tidak berkorelasi dengan perubahan pada akses pendidikan warganya, pelayanan kesehatan yang mereka dapatkan, serta kemudahan sarana parasarana transportasi  dan kondisi lingkungan pemukimannya.  Setelah menerima Kalpataru tetap saja keadaan kehidupan sehari-hari yang mereka lalui sama  seperti yang mereka rasakan sebelumnya. Lebih-lebih manakala ekpektasi penghargaan ini oleh masyarakatnya sebagai bentuk penghargan kelak akan merubah nasib warganya, dan ternyata harapan tersebut tidak terwujud, bisa kita bayangkan betapa kesedihan warganya akan semakin berlanjut, tanpa kita mampu memutus mata rantainya.

Kehidupan dalam banyak kasus di nilai sebagai sebuah survival of the fittes, yang kuat selalu menjadi pemenang dan yang kalah akan menjadi tumbang, namun tidak seyogyanya untuk mendapatkan akses pada kebutuhan dasar, seperti mendapatkan pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan lainya. Sudah seharusnya semua masyarakat bisa mendapatkannya tanpa prasyarat dan pertimbangan apapun.

Gerakan Global tentang pendidikan untuk semua (education for all) yang beberapa dasawarsa lalu di wacanakan Badan Dunia Unesco, dengan melihat kasus yang dilami Venti  nampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Sudah banyak hasil kajian telah menunjukan bahwa pendidikan yang selama ini dibangun masih menimbulkan berbagai persoalan disparitas. Akses pada pendidikan selama ini masih banyak dinikmati dan memberikan kemudahan bagi keluarga yang mampu serta lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan dari pada pedesaan atau pinggiran. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin melebar disparitas tersebut. Subsidi pendidikan oleh negara nampaknya lebih banyak dinikmati orang dari kelas atas yang tinggal di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun