Kepulauan Magis. Itu kami sebut Sumba secara terbatas. Melihat rumah tinggi-tinggi yang melambangkan kedekatan pemilik dengan sang Ilah.
Berbagai upacara adat yang menyertai dalam setiap aktifitas masyarakat disana; mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Belum lagi sebaran makam kuno yang ada pada kampung-kampung adatnya; saksi bisu sejarah panjang Sumba bisa dibaca disana.
Di balik kemegahan peradaban Sumba, ada satu hal pasti yang cukup membuat terhenyak; bahwa kemegahan peradaban dan adat menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan masyarakat Sumba. Bahwa di balik kemegahan ceremonial yang hadir dalam setiap ruang aktifitas masyarakat Sumba, telah menjadikan masyarakat Sumba menjadi masyarakat yang harus kerap disadarkan, kerap dibangunkan, hanya untuk menyadarkan bahwa ketertinggalan, kemiskinan dan kekurangan fasilitas harus menjadi motivasi mereka dalam beraktifitas.
Dan bagaimana memutus rantai kemiskinan serta ketertinggalan ini, salah satunya adalah melalui peningkatan mutu kualitas Pendidikan, terutamanya literasi dan numerasi.Â
Secara nasional, Penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 menyebutkan bahwa hanya 6,06% siswa yang memiliki kemampuan membaca dengan baik. Lalu 47,11% memiliki kemampuan sedang dan 46,83% memiliki kemampuan kurang dalam membaca.
Untuk Sumba, hasil penelitian ACDP, yang dilakukan oleh AUSAID kurun 2016, menemukan fakta bahwa 7 dari 10 siswa kelas dua di daratan Sumba, ternyata tidak bisa membaca. Indikator bisa dan tidak bisa membaca disini, oleh ACDP dilihat dari kemampuan rata-rata siswa kelas dua yang seharusnya sudah mampu untuk membaca kurang lebih 60-70 kata per menit. Kemampuan untuk membaca merupakan dasar bagi seorang anak untuk mampu mengembangkan dirinya dalam aktifitas kesehariannya, termasuk didalamnya, dalam mengikuti jenjang pendidikan di Indonesia.
Jika kemampuan dasar ini belum dimiliki sejak di kelas awal, maka dapat dipastikan dijenjang yang lebih tinggi, si anak akan mengalami banyak kesulitan dalam memahami dan menyerap berbagai informasi dan pengetahuan.
Hari ini, Tanggal 8 Agustus 2018, publik Sumba Barat Daya dikejutkan oleh sebuah kegiatan yang bersifat ekshibisi. Yang dipamerkan, bukan barang hasil kerajinan dari masyarakat Sumba yang terkenal dengan kain tenunnya. Ekshibisi tersebut memamerkan 34 ide-ide pembelajaran yang munculnya secara unik. Permasalahan yang ditemui oleh guru-guru kelas awal di Sekolah Dasar -yaitu kelas 1, 2 dan 3- dalam proses belajar mengajar, dieksplorasi dan ditemukenali. Dengan memanfaatkan sarana seadanya dan serba terbatas, 34 guru yang tersebar di 12 sekolah dasar se-Sumba Barat Daya tersebut menyuguhkan bagaimana proses munculnya gagasan-gagasan dalam strategi pembelajarannya. Tidak itu saja, mereka, dengan masing-masing gaya, menunjukkan bukti-bukti secara ilmiah hasil pelaksanaan uji gagasan tersebut dengan post test dan pre-test yang memang secara keseluruhan menunjukkan terjadinya kenaikan yang cukup signifikans atas kemampuan literasi dan numerasi siswanya. Masing-masing gagasan tersebut, juga diberi label/judul yang unik. Ada Lanipesi; Lafal Intonasi-ekspresi lewat puisi. Ada Kosakata; Kau sebut Namanya; kutulis Katanya, dan ada pula yang menjadikan binatang ternak penganggu konsentrasi belajar sebagai sarana pendukung proses belajar mengajar; Binatang berbicara.Â
 Lanipesi merupakan gagasan yang muncul dari Syarifudin. Pengajar di SD Inpres Satu Atap Gokata. Satu Atap di Sumba dikenal dengan idiom Satu Atap. Sekolah yang berimbuh kata Satap dibelakang kata SD, mengindikasikan bahwa sekolah tersebut selain digunakan untuk menempuh Pendidikan Dasar, juga digunakan untuk Pendidikan setingkat SMP atau -bahkan, SMA. Lanipesi dilaksanakan minimal lima kali pertemuan kelas (@ 35 menit untuk SD), dengan masing-masing pertemuan mempunyai tujuan yang berbeda. Secara detail bagaimana metode ini bekerja, dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.Â
Dengan tanpa berusaha menyalahkan siswanya dan berbekal hasil pelatihan yang dilakukan oleh Kemendiknas melalui program INOVASI, Syarif sadar, bahwa siswanya mengalami kebosanan dalam mengikuti proses belajar, khususnya yang membahas tentang literasi. Syarif lalu berusaha mencoba menggabungkan penggunaan kartu baca yang ia modifikasi menjadi Kartu Kata dan Kartu Kalimat, dengan Puisi sederhana hasil ciptaannya. Hasilnya cukup menggembirakan. Respon siswa terhadap metodenya terbukti mampu secara ilmiah meningkatkan kemampuan mereka membaca puisi dengan ekspresi dari 72% menjadi 86%. Lanipesi juga direspon positif oleh 95% siswanya. Rata-rata jika ada siswa yang merespon negatif, mereka ternyata tidak masuk kelas saat pertemuan awal metode ini dilaksanakan di kelas.Â
Binatang berbicara di SD PogotenaÂ
Jika pernah melihat televisi atau film-film documenter yang memutar bagaimana kondisi lingkungan Sekolah Dasar era 70-an, maka anda secara otomatis akan di-reminder- pada jaman tersebut saat melihat lingkungan SD Negeri Pogo Tena. Untuk sampai ke SD yang baru resmi menyandang status Negeri pada tahun 2016 ini tidak susah jika mau bertanya. Dari Bandar Udara Tambolaka, Sumba Barat Daya, SD ini kira-kira berjarak 30 menit perjalanan ke arah pantai Mananga Aba yang tersohor di manca negara karena pemandangannya yang eksotis. Dari jalan beraspal yang mulus, berpindah menjadi jalan berpasir penuh debu jika kemarau, serta harus melintasi kebun jagung dan area perkebunan Jambu Mete penghasil kacang Mente menjadi penghias perjalanan ke SD Pogotena. Di SD inilah metode binatang berbicara ditemukan dan diujicoba. Penggagasnya seorang ibu guru berusia 42 tahun pengajar kelas dua; Ibu Heni.
Metode ini ditemukan akibat seringnya lapangan SD Pogo Tena digunakan sebagai tempat menggembala hewan ternak serta tempat anjing liar berkeliaran. Ternak, jika merujuk pada adat istiadat masyarakat Sumba, maka itu artinya adalah Kuda, Sapi, Domba, Babi dan Kerbau. Keberadaan hewan ternak ini sangat mengganggu konsentrasi siswa Ibu Heni saat mengajar. Bagaimana tidak, baru lima belas menit proses belajar mengajar dimulai, hewan-hewan ini tanpa perlu mengetuk pintu kelas Ibu Heni yang memang harus terbuka, mendadak nyelonong ke dalam kelas. Pernah suatu waktu pintu kelas yang diajar Henny ditutup. Akibatnya, siswa-siswa juga makin tidak dapat berkonsentrasi. Jalur keluar masuknya udara satu-satunya adalah melalui pintu kelas tersebut. Sementara, SD Pogo Tena berada di tengah-tengah perkebunan. Bisa dibayangkan; siswa yang harusnya menggunakan bukunya sebagai alat tulis, mengalihfungsikan buku tersebut menjadi alat pencipta hawa sejuk bagi dirinya. Ibu Henny kemudian mencoba berpikir bagaimana menggunakan hewan-hewan tersebut sebagai media pembelajaran yang mampu membantu siswanya berkonsentrasi mengikuti pelajaran sekaligus belajar membaca dan mengenal sekitarnya. Metode ini dinamakan Binatang berbicara. Bagaimana metode ini dilaksanakan, dapat dilihat pada diagram berikut.Â
Wakil Bupati Sumba Barat Daya, Ndara Tangguh Kaha menyampaikan apresiasi terhadap ide-ide cerdas yang muncul dari guru-guru peserta kegiatan ini. Permasalahan yang kerap dikeluhkan oleh sebagian besar pengajar yang berada di wilayah serba kekurangan, serba susah dan serba terbatas macam di Sumba, ternyata dapat dipecahkan melalui ide-ide kreatif dengan menggunakan media seadanya yang tidak perlu mahal, tetapi dapat ditemukan gratis di sekitar tempat mengajar.Â
"Sebuah energi yang baik, bagaimanapun harus disebarkan dalam kegelapan. Walaupun itu kecil, jika memang diperlukan dan mampu dipergunakan secara optimal, pasti akan menyebar, memberikan kebaikan kepada sekitarnya." Ujar Pak Ndara yang sebentar lagi habis masa jabatannya tersebut.Â
Dan kebaikan ini terbukti direspon secara baik oleh masyarakat Sumba Barat Daya. Kekreatifan guru-guru ini dalam menguji gagasannya, memperoleh ganjaran komitmen dari seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan sektor Pendidikan. Ganjaran yang diperoleh tidak main-main. Keluh kesah para guru peserta kegiatan tentang berbagai hal yang terjadi di sekolahnya kepada pemangku kepentingan yang hadir saat itu, ditindaklanjuti melalui janji dari pemangku kepentingan untuk memberikan alokasi yang besar terhadap upaya meningkatkan mutu kualitas pendidikan di Sumba Barat Daya, khususnya dalam membantu menghapus stigma ketertinggalan kemampuan membaca anak. Alokasi tersebut nantinya akan menyasar kepada guru-guru PAUD, dan kelas awal di SD-SD se-Sumba Barat Daya melalui pelatihan pengembangan kapasitas, memperketat proses pengawasan berbasis territorial serta penyediaan sarana buku dan alat tulis yang mendukung kegiatan literasi dan numerasi di Sekolah Dasar se-Sumba Barat Daya, khususnya di SD-SD yang berada di wilayah jauh dari perkotaan.Â
Inilah energi yang akan menjadi penerang bagi Sumba untuk keluar dari gelapnya ketertinggalan. Energi yang konsisten menjadikan inovasi strategi pembelajaran dengan segala keterbatasan yang bisa menciptakan calon-calon pemimpin Indonesia di Indonesia. Energi baik yang disebarkan oleh mereka, para guru yang berdedikasi pada tugas mulianya, para guru BAIK, untuk Indonesia yang lebih baik.()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H