Mohon tunggu...
AGUS SUWARNO
AGUS SUWARNO Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik yang senang membaca dan menulis

Kang Guru dari lereng gunung Slamet, Banyumas,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berharap Gunung Slamet Tidak Meletus dengan Tradisi Gandulan

16 Maret 2014   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir satu pekan warga Banyumas yang  yang bermukim di kaki gunung Slamet lebih sering  menengok sang raksasa hijau yang berdiri gagah. Bukan karena ingin melihat kegagahannya tetapi ingin melihat aktifitas terakhir si raksasa hijau yang tampak terbatuk-batuk mengeluarkan  asap. Sekali waktu  mengepul asap berwarna putih, namun tak lama kemudian mengepul asap berwarna pekat hitam membumbung tinggi. Keluarnya kepulan asap sering disertai suara gemuruh dan gempa dalam skala kecil. Pada malam hari tampak warna memerah sesekali menyelimuti puncak gunung, warna yang sebenarnya indah justru menjadi sumber kecemasan saat sang raksasa dinyatakan sedang tidak ramah. Ya, gunung yang mempunyai ketinggian lebih dari 3000 m  itu saat ini sedang dinyatakan waspada. Tak heran jika masyarakat sekitar memberi perhatian khusus kepada Si raksasa hijau itu.

Bagi warga Banyumas yang tinggal di tinggal di kaki gunung Slamet, status waspada  gunung Slamet bukanlah untuk pertama kali. Terakhir kali gunung Slamet dinyatakan waspada pada pertengahan tahun 2009. Pada saat itu sering terjadi letusan kecil ratusan kali tiap harinya.  Bahkan pada siang hari dapat dilihat juluran lidah api keluar dari mulut gunung. Masyarakat yang berada pada jarak tidak aman dilatih saat dilakukan evakuasi. Meski demikian letusan besar yang dikhawatirkan berdampak pada jatuhnya korban tidak terjadi. Ya, sesuai namanya gunung Slamet masih menebar keselamtan bagi warga yang tinggal di sekitarnya.

Dalam menyikapi meningkatnya aktifitas gunung Slamet ada tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Sebuah tradisi yang dikenal dengan nama gandulan. Tradisi gandulan adalah tradisi yang dilakukan warga yang berharap gunung Slamet tidak meletus besar dan menebar bencana. Pada tradisi ini warga secara mandiri maupun kelompok membuat sayur yang berbahan pokok pepaya muda  dan daunnya. Pepaya dalam bahasa Banyumas disebut  gandul . Sehingga tradisi memasak sayur pepaya muda beserta daunnya ini oleh masyarakat disebut dengan gandulan. Acara gandulan, umumnya dilakukan di tengah jalan yang relatif strategis untuk mengumpulkan masyarakat. Dalam acara gandulan masyarakat berdoa memohon kepada Tuhan agar selalu diberi keselamatan dan menolak balak bencana, berharap gunung Slamet tidak meletus yang berakibat pada jatuhnya korban. Masyarakat berharap  kondisi gunung Slamet nggandul yang artinya menggantung, cukup dalam kondisi waspada saja tidak meningkat pad kondisi yang lebih membahayakan. Tradisi gandulan umumnya dilakukan tiga hari berturut-turut.

Tradisi gandulan tidak deiketahui siapa yang mengawali dan kapan awal mula dilakukan. Masarakat hanya tahu tradisi gandulan dilakukan secara turun temurun oleh leluhur kepada warga Banyumas yang tinggal di sekitar gunung Slamet . Saat ini tradisi gandulan tidak dilakukan oleh semua warga. Adapun masyarakat yang masih melakukan tradisi gandulan diantaranya penduduk desa Kemutug Kidul,Kemutug Lor,  Karangsalam, karangmangu, Kotayasa, Rempoah. Bahkan ada penduduk desa yang sebenarnya masih dalam jarak aman melakukan tradisi gandulan yaitu grumbul Watumas. Grumbul Watumas terletak 25 km dari puncak gunung Slamet. Namun karena dari grumbul ini gunung Slamet tampak menjulang tinggi dan kepulan asap dan bara  api saat meletus terlihat maka sebagian masyarakat merasa perlu mengadakan gandulan.

Bagi sebagian masyarakat tradisi gandulan dianggap tidak relevan lagi. Tradisi gandulan dirasa tidak rasional dan mengada-ada. Tidak heran jika tradisi gandulan mulai ditinggalkan. Bahkan generasi muda saat ini banyak yang tidak paham tradisi gandulan. Padahal jika ditilik lebih dalam tradisi gandulan merupakan bagian kearifan lokal yang diturunkan para leluhur dalam menyikapi akan terjadinya bencana khususnya letusan gunung Slamet. Melalui tradisi gandulan masyarakat dikondisikan selalu waspada menyikapi kondisi gunung Slamet yang tidak bersahabat. Masyarakat membiasakan diri untuk dapat bertahan dalam kondisi bencana jika itu terjadi. Dengan membiasakan diri mengkonsumsi sayur berbahan pepaya muda dan daunnya warga tidak akan kaget untuk hidup dalam kondisi keprihatinan. Sebagaimana kita ketahui pohon pepaya mudah di dapat dan berharga relatif murah bahkan di desa tidak perlu membeli. Pepaya merupakan buah dengan tingkat nutrisi yang tinggi sehingga dengan mengkonsumsi sayur gandul atau pepaya warga akan mempunyai stamina yang cukup saat menghadapi bencana..  Sementara itu kata gandul sebagaimana telah disebutkan di atas mempunyai makna sebagi doa agar status gunung slamet yang waspada aman tetap nggandul atau menggantung tidak meningkat menjadi kondisi yang membahayakan.Dalam tradisis gandulan di samping berisi doa juga nasehat dari oarng yang dituakan agar warga meningkatkan perilaku baik dan ketakwaan terhadap yang maha kuasa.

Tradisi gandulan yang merupakan bentuk kearifan lokal dalam bersikap terhadap akan terjadinya bencana perlu dilestarikan. Perlu campur tangan pemerintah daerah untuk mengelola tradisi ini menjadi tradisi positif dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Tradisi gandulan dapat dijadikan wadah komunikasi antar warga, dan juga wadah bagi aparat setempat untuk meredam keresahan warga terkait kondisi waspada yang ditetapkan. Melalui tradisi gandulan warga diharapakan mendapat informasi yang benar terkait status gunung Slamet yang terakhir. Dengan tradisi gandulan diharapakan tercipta aura positif semua pihak dalam menyikapi batuknya sang raksasa hijau, gunung Slamet.

Semoga gunung Slamet, sesuai dengan namanya tetap membawa keselamatan dan kesejateraan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun