Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penasaran Vaksin Nusantara

20 April 2021   08:00 Diperbarui: 20 April 2021   08:03 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk awam tentang seluk beluk pervaksinan, khususnya Vaksin Nusantara yang menghebohkan ini, dan hanya mengikuti pemberitaan yang riuh dan cukup menarik layaknya infotaiment. Ada pihak yang mendukung kelanjutan uji klinis VakNus atau vaksin nusantara, ada pula pihak yang menolaknya. Melibatkan banyak tokoh besar yang berdiri di belakang tokoh dan istitusi yang besar pula, yaitu Doktor Terawan Agus Putranto dengan RSPAD-nya vs Dr. Penny Kusumastuti Lukito dengan BPOM-nya.

Masing-masing pendukung tentu juga punya alasannya sendiri, baik alasan sains, fakta ilmiah, logika umum hingga alasan kepercayaan yang sifatnya pribadi. Yang mendukung BPOM beralasan bahwa sebagai sebuah institusi negara yang bertugas melindungi kesehatan masyarakan dari peredaran Obat (termasuk vaksin), makanan dan minuman yang dikonsumsinya, harus dilindungi independensinya.

Ketika BPOM memutuskan bahwa uji klinis fase satu bermasalah dan tidak boleh dilanjutkan ke fase 2, maka diyakini oleh para pendukungnya bahwa alasan BPOM tersebut semata-mata karena alasan ilmiah. Dan memang alasan BPOM menolak uji klinis fase satu di RS Karyadi Semarang karena adanya syarat yang belum terpenuhi, di antaranya cara uji klinik yang baik (good clinical practical), proof of concept, good laboratory practice, dan cara pembuatan obat yang baik (good manufacturing practice). Antigen pada vaksin tersebut dinilai tak memenuhi pharmaceutical grade.

Selanjutanya BPOM mengeluarkan laporan berupa data bahwa 20 dari 28 relawan uji klinis fase satu mengalami ‘Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang berupa nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae (muncul bercak berwarna ungu, cokelat atau merah di kulit), lemas, mual, batuk, demam, pilek dan gatal. Namun, di dalam laporan itu, juga dijelaskan adanya KTD lain yang lebih parah, yaitu KTD tingkat 3 yang dialami oleh 6 relawan. Satu subyek mengalami hipernatremia (kadar natrium terlalu tinggi di dalam darah), dua subyek mengalami peningkatan blood urea nitrogen (kadar urea nitrogen dalam darah), dan tiga subyek mengalami peningkatan kolesterol.

Sebagai pamungkas BPOM juga mensyaratkan agar tim peneliti melakukan uji pra-klinis pada binatang, sebelum melakukannya pada manusia. Syarat ini tentunya menjadi pemukul yang sangat telak bagi peneliti karena harus melakukan dari awal lagi yang dipastikan butuh waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Tapi itulah posisi tegas BPOM sejauh ini, di tengah-tengah tekanan politik, klaim bombastis dan nasionalisme dari para tokoh pendukung VakNus. Dalam hal ini, saya angkat topi buat BPOM.

Oh ya, saya sengaja tidak membahas statement BPOM bahwa bahan vaksin nusantara mayoritas masih diimpor, juga adanya peneliti asing yang terlibat. Hal tersebut tidak relevan bagi pembuktian vaksin itu sendiri dan kepentingan masyarakat secara umum.

Lalu, apa yang menjadi alasan peneliti terutama pak Terawan, kok nekat melanjutkan penyuntikan vaksin ini ke orang-orang? Mengapa banyak orang dari kalangan menengah atas dengan pendidikan tinggi, bahkan sebagian adalah tokoh nasional, bersedia dijadikan semacam kelinci percobaan? Bersedia diambil darahnya untuk diambil sel Dendritiknya, dicampur dengan Antigen dan 8 hari kemudian disuntikan lagi ke tubuh mereka? Apa alasan mereka? Dari pemberitaan yang ada, alasan kepercayaan kepada pak Terwan-lah yang menjadi dasar mereka rela jadi relawan. Orang yakin dengan sebuah produk sains hanya karena percaya kepada yang menginisiasi, bukan kepada fakta sains. Inilah ironi negeri ini.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat dari Pak Terawan. Dia cuma pernah bilang bahwa vaksin nusantara dengan platform sel dendritik ini bersifat personal, sangat aman dan cocok bagi penderita komorbid (penyakit penyerta) dan autoimun (gangguan system pertahanan tubuh). Saya belum pernah membaca atau mendengar penjelasan gamblang secara saintifik darinya.

Begitu juga dengan tim penelitinya. Informasi hanya didapat dari Dr. Jonny sebagai peneliti utama, bahwa seluruh proses penelitian uji klinis ini dijamin akan kredibel dan akuntabel, mengikuti seluruh kaidah ilmiah dan etik. Salah satunya adalah relawan yang tidak memenuhi kriteria tidak akan dimasukkan sebagai sampel penelitian. Jadi jelas bahwa anggota DPR yang ikut rame-rame menjadi relawan tidak masuk kriteria dan hanya akan menjadi penggembira saja, karena mereka sudah pernah mendapatkan vaksin sebelumnya. Sementara seluruh kritik, saran dan masukan yang datang dari luar, terutama BPOM dan para ilmuwan lainnya dianggap sebagai kontribusi yang akan memacu tim peneliti untuk bekerja lebih hati-hati lagi.

Tidak ada dari pak Terawan dan tim penelitinya mengcounter langsung keterangan dari BPOM. Tim peneliti seakan-akan berjalan dengan agendanya sendiri, memperbaiki segala kekurangan yang terjadi saat proses fase satu di semarang dan melanjutkan dengan fase dua di RSPAD. BPOM pun tidak bisa berbuat banyak, apalagi mengehentikan. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan statement bahwa uji klinis di RSPAD di luar wewenang BPOM. Cuma itu.

Itulah sekilas gambaran rangkuman ontran-ontran yang terjadi tentang VakNus atau vaksin nusantara. Terus selanjutnya bagaimana? RSPAD lanjut dengan uji klinis atau mengikuti saran BPOM dengan resiko mengulang dari awal yang membutuhkan waktu sangat lama, yang mana justru waktu itu sendiri menjadi komoditi yang mahal di tengah pandemi ini.

Sepertinya pak Terawan akan tetap melanjutkan apa yang sudah dimulainya meski ditentang oleh BPOM dan IDI serta banyak ilmuwan lainnya. Sebagai seorang ilmuwan, dia juga pasti sudah mempertimbangkan segala aspek teknis medis dan keamanan serta meyakini akan keberhasilan vaksin nusantara ini.

Kejadiaanya akan mirip seperti beberapa tahun sebelumnya saat pak Terawan memperkenalkan metode DSA atau Brain Wash untuk membersihkan pembuluh darah tersumbat. Meski ditentang keras oleh mayoritas dokter dan bahkan dipecat dari keanggotaan IDI, toh metode DSA tetap jalan terus dan hingga saat ini sudah lebih dari 40.000 orang disembuhkan secara cepat dari penyakit stroke dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan penyumbatan pembuluh darah.

Apa jadinya kalua saat itu pak Terawan tunduk pada tekanan IDI dan menghentikan metode DSA-nya? Yang jelas rakyat Indonesia tidak akan mengenal metode DSA. Penyakit stroke akan diobati secara konvensional yang membutuhkan waktu lama dan beaya cukup mahal. Untunglah pak Terawan memilih dipecat dari keanggotaan IDI dan tetap mengembangkan metode DSA ini. Infonya sudah beberapa dokter hasil didikannya juga membuka praktek DSA di beberapa Rumah Sakit di luar RSPAD.

Begitu juga dengan vaksin nusantara ini, apa yang akan terjadi kalau pak Terawan tunduk kepada BPOM dan menghentikan uji klinis? Yang jelas tidak akan ditemukan jawaban apakah vaksin dendritik nusantara ini bisa dijadikan Vaksin covid-19 atau tidak. Rasa penasaran banyak orang termasuk saya akan tetap menjadi rasa penasaran. Istilahnya penelitian tinggal ‘mak-nyuk’ atau selangkah lagi untuk mendapatkan jawaban, kok berhenti atau ditunda hanya karena saran BPOM yang juga sepenuhnya tidak diterima oleh peneliti.

Dulu alasan IDI menolak metoda DSA karena dipandang tidak memenuhi kaidah ilmiah kedokteran dan melanggar kode etik. Bisa jadi alasan ditolaknya metode DSA oleh IDI karena metode tersebut baru pertama kali dilakukan oleh pak Terawan dan belum ada rujukannya atau contohnya di negara lain. Bisa jadi IDI menolak karena tidak ditemukannya makalah dari luar yang membenarkan metode DSA ini. Kok seperti mental ilmuwan follower dan bukan inovator ya. Semoga saya salah.

Sekarang BPOM dan mayoritas anggota IDI juga menolak uji klinis vaksin nusantara di RSPAD. Bisa jadi alasannya menolak, selain standard ilmiah, juga karena kegamangan BPOM menghadapi uji klinis vaksin dendritik yang memang baru pertama kali di dunia untuk diuji klinis. Vaksin nusantara ini beda platform dengan vaksin konvensional yang telah puluhan tahun diterapkan, seperti Sinovac yang berbahan dasar virus yang telah dimatikan atau AstraZeneca yang berbahan dasar bagian dari virus.

Mestinya BPOM memodifikasi standard ilmiah uji klinis untuk vaksin konvensional dan disesuaikan dengan vaksin nusantara yang non konvensional ini. Tapi mungkin mereka ragu karena belum ada contohnya dari luar negeri. Belum ada paper khusus yang membahas sel dendritik untuk vaksin. Jadinya, daripada menerima ‘standarnya’ pak Terawan, lebih aman memaksakan standard yang sudah ada.

Akhirnya, seperti yang terjadi pada metode DSA, pak Terawan yang sangat logis dan berani mengambil resiko, ambil jalan sendiri dan terus kekeh melanjutkan uji klinis yang tinggal ‘mak-nyuk’, untuk mendapatkan jawaban dari hiruk pikuk diskusi, nyinyiran, dan harapan banyak orang. Apakah vaksin nusantra akan bisa jadi vaksin beneran atau hanya heboh vaksin. Berharap yang terbaik. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun