Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penasaran Vaksin Nusantara

20 April 2021   08:00 Diperbarui: 20 April 2021   08:03 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cnbcindonesia.com

Sepertinya pak Terawan akan tetap melanjutkan apa yang sudah dimulainya meski ditentang oleh BPOM dan IDI serta banyak ilmuwan lainnya. Sebagai seorang ilmuwan, dia juga pasti sudah mempertimbangkan segala aspek teknis medis dan keamanan serta meyakini akan keberhasilan vaksin nusantara ini.

Kejadiaanya akan mirip seperti beberapa tahun sebelumnya saat pak Terawan memperkenalkan metode DSA atau Brain Wash untuk membersihkan pembuluh darah tersumbat. Meski ditentang keras oleh mayoritas dokter dan bahkan dipecat dari keanggotaan IDI, toh metode DSA tetap jalan terus dan hingga saat ini sudah lebih dari 40.000 orang disembuhkan secara cepat dari penyakit stroke dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan penyumbatan pembuluh darah.

Apa jadinya kalua saat itu pak Terawan tunduk pada tekanan IDI dan menghentikan metode DSA-nya? Yang jelas rakyat Indonesia tidak akan mengenal metode DSA. Penyakit stroke akan diobati secara konvensional yang membutuhkan waktu lama dan beaya cukup mahal. Untunglah pak Terawan memilih dipecat dari keanggotaan IDI dan tetap mengembangkan metode DSA ini. Infonya sudah beberapa dokter hasil didikannya juga membuka praktek DSA di beberapa Rumah Sakit di luar RSPAD.

Begitu juga dengan vaksin nusantara ini, apa yang akan terjadi kalau pak Terawan tunduk kepada BPOM dan menghentikan uji klinis? Yang jelas tidak akan ditemukan jawaban apakah vaksin dendritik nusantara ini bisa dijadikan Vaksin covid-19 atau tidak. Rasa penasaran banyak orang termasuk saya akan tetap menjadi rasa penasaran. Istilahnya penelitian tinggal ‘mak-nyuk’ atau selangkah lagi untuk mendapatkan jawaban, kok berhenti atau ditunda hanya karena saran BPOM yang juga sepenuhnya tidak diterima oleh peneliti.

Dulu alasan IDI menolak metoda DSA karena dipandang tidak memenuhi kaidah ilmiah kedokteran dan melanggar kode etik. Bisa jadi alasan ditolaknya metode DSA oleh IDI karena metode tersebut baru pertama kali dilakukan oleh pak Terawan dan belum ada rujukannya atau contohnya di negara lain. Bisa jadi IDI menolak karena tidak ditemukannya makalah dari luar yang membenarkan metode DSA ini. Kok seperti mental ilmuwan follower dan bukan inovator ya. Semoga saya salah.

Sekarang BPOM dan mayoritas anggota IDI juga menolak uji klinis vaksin nusantara di RSPAD. Bisa jadi alasannya menolak, selain standard ilmiah, juga karena kegamangan BPOM menghadapi uji klinis vaksin dendritik yang memang baru pertama kali di dunia untuk diuji klinis. Vaksin nusantara ini beda platform dengan vaksin konvensional yang telah puluhan tahun diterapkan, seperti Sinovac yang berbahan dasar virus yang telah dimatikan atau AstraZeneca yang berbahan dasar bagian dari virus.

Mestinya BPOM memodifikasi standard ilmiah uji klinis untuk vaksin konvensional dan disesuaikan dengan vaksin nusantara yang non konvensional ini. Tapi mungkin mereka ragu karena belum ada contohnya dari luar negeri. Belum ada paper khusus yang membahas sel dendritik untuk vaksin. Jadinya, daripada menerima ‘standarnya’ pak Terawan, lebih aman memaksakan standard yang sudah ada.

Akhirnya, seperti yang terjadi pada metode DSA, pak Terawan yang sangat logis dan berani mengambil resiko, ambil jalan sendiri dan terus kekeh melanjutkan uji klinis yang tinggal ‘mak-nyuk’, untuk mendapatkan jawaban dari hiruk pikuk diskusi, nyinyiran, dan harapan banyak orang. Apakah vaksin nusantra akan bisa jadi vaksin beneran atau hanya heboh vaksin. Berharap yang terbaik. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun