Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seandainya Akhlak Menjadi Syarat Utama Berpoligami

17 Desember 2018   17:40 Diperbarui: 17 Desember 2018   17:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto:www.geotimes.co.id

Grace dengan PSInya semakin menunjukan identitasnya. Kalau sebelumnya mereka menentang perda syariah dan perda Injil yang dianggapnya diskriminatif (lihat artikel), kali ini dia masuk ke ranah yang lebih sensitif, yaitu menolak poligami, terutama bagi seluruh kader partainya. PSI juga akan mengusahakan pelarangan poligami kepada seluruh pejabat eksekutif dan legislatif serta aparatur negara kedepannya.

Poligami yang sudah lebih dari seribu tahun menjadi privilage  menguntungkan bagi kaum laki-laki mulai digugat dan ditentang oleh Partai Solidaritas Indonesia, yang mayoritas anggotanya perempuan dan diketuai oleh seorang perempuan.  

Rupa-rupanya Partai Solidaritas memang sengaja hadir di panggung poltik negeri ini untuk bersikap tegas dan berwarna jelas dalam menentang segala bentuk kebijakan dan kondisi yang menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi, meski hal tersebut mempunyai dasar legalitas Ilahi.

 Grace dan kawan-kawan sepertinya tidak kawatir dengan gorengan issue dan tuduhan sebagai pihak yang dianggap membenci Islam.

Lalu, kenapa Grace dengan PSInya, dimana kader partainya banyak yang beragama Islam 'nekat' dengan tegas menolak apa yang sudah dihalalkan oleh Tuhan melalui kitab sucinya? Apakah mereka sudah tidak percaya dengan ayat yang membolehkan poligami?

Tentunya para kader PSI yang beragama Islam percaya dengan ayat-ayat suci dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak dan bersifat final. Namun sepertinya mereka mempunyai penafsiran berbeda akan ayat poligami tersebut.

*****

Para penganut agama memang harus menafsirkan arti dan makna setiap ayat-ayat kitab suci. Dalam agama Islam, yang paling mengerti makna dari setiap ayat Alquran tentunya hanyalah pihak yang memberi firman, yang mengantar firman dan yang menerima firman. Dalam hal ini Allah, Malikat Jibril dan Sang Nabi sendiri.

Pada agama Kristen, pihak yang paling mengerti makna dari tindakan, ucapan dan ajaran Yesus adalah Yesus sendiri beserta rasul-rasulnya. Sementara para penulis Injil, yakni Markus, Matius, Lukas dan Yohanes menafsirkan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman masing-masing.

Maka dari itu, dalam perjalanannya terjadi perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut oleh para pengikutnya. Ini dikarenakan perbedaan kondisi sosial, budaya dan kepentingan. Inilah yang memunculkan berbagai macam aliran dalam sebuah agama.

Kembali kemasalah penolakan PSI terhadap poligami. Yang menjadi dasar penolakannya adalah bahwa poligami lebih banyak menimbulkan ketidakadilan bagi para istri dan anak. Untuk itu jika seorang suami menginginkan poligami, mestinya syarat yang utama bukanlah mampu secara material dan batiniah, serta bertindak adil, tapi akhlak yang tinggi. Hanya suami berakhlak baik yang sejatinya 'boleh' memadu istrinya.

Lalu bagaimana cara mengetahui bahwa seorang suami sudah mempunyai akhlak yang baik? Pada jaman nabi-nabi terdahulu, praktek poligami yang dilakukan bukan atas dasar nafsu. Nabi dengan akhlak mulianya melakukan poligami semata-mata demi dakwah agama dan untuk mengangkat harkat dan martabat para wanita janda yang dinikahinya. Dan yang pasti, nabi berpoligami tanpa menyakiti hati istrinya.

Sementara untuk jaman sekarang sangat sulit mendapati manusia yang akhlaknya seperti nabi. Namun tentunya ada juga manusia yang mempunyai ahklak baik di bumi ini, meski tingkatannya masih jauh di bawah akhlak nabi. Salah satu ciri orang atau suami berakhlak adalah dia sangat menyayangi keluarganya, sehingga tidak akan menyakiti perasaan istri dan anak-anaknya. Suami yang berahkak baik tidak akan melakukan poligami karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakadilan dan perasaan tersakiti istri dan anak-anaknya.

Jadi, apabila syarat ahklak yang baik menjadi dasar seseorang untuk boleh berpoligami, maka seharusnya praktek poligami menjadi akan sangat jarang terjadi di jaman sekarang ini. Hal ini karena seorang suami yang semakin tinggi akhlaknya akan semakin mencintai keluarganya, sehingga akan semakin membuatnya menjauh dari godaan poligami. Dia tidak akan mungkin mungkin menyakiti hati keluarganya dengan melakukan kawin lagi.

*****

Pertanyaan selanjutnya, apakah mungkin terjadi praktek poligami tanpa menyakiti orang lain, terutama istri dan anak-anaknya? Meskipun sangat kecil, tapi kemungkinan bisa saja terjadi. Salah satunya bila permintaan poligami itu datang dari istri dan anak-anaknya sendiri, yang dengan sukarela, bahkan memohon kepada suami/ayahnya untuk mengambil perempuan lain sebagai istrinya.

Seorang suami yang berahkalak baik tentu tidak serta-merta menerima permintaan tersebut. Dia akan berusaha keras menolaknya, karena akhlaknya memang membawanya kepada rasa syukur yang besar hanya dengan satu istri. Akhlaknya seperti sudah memberi 'warning' bahwa tindakan poligami akan menimbulkan ketidakadilan bagi anak istrinya kelak. Maka, dengan akhlaknya yang baik akan dicarinya solusi lain dalam membantu harkat perempuan tersebut tanpa harus menikahinya.

Alasan lain mengapa poligami tidak perlu dilakukan di era sekarang ini, karena secara statistik kependudukan, jumlah laki-laki di seluruh muka bumi dan di Indonesia lebih banyak dibanding jumlah perempuan. Menentang praktek poligami berarti memberi kesempatan laki-laki lain untuk mendapat jodohnya. (Sumber 1 dan 2)

Jadi, selain jumlah kaum laki-laki yang lebih banyak, sejatinya kalau akhlak baik menjadi dasar untuk memutuskan berpoligami atau tidak, maka seseorang tidak akan setuju dengan praktik poligami. Orang berakhlak akan lebih memilih setia dengan satu istri. Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun