Agama dengan segala produk turunannya adalah sesuatu yang masih dianggap sakral bagi masyarakat Indonesia, sehingga tabu untuk dibicarakan dan dikritisi secara terbuka. Masih belum ada batas-batas yang jelas untuk mengkritisinya tanpa menimbulkan masalah.Â
Yang jelas, apabila salah topik, salah tempat, salah cara penyampaian atau salah orang yang berbicara, maka bisa membangkitkan ketersinggungan dan kemarahan bagi pemeluk agama tersebut. Â
Salah satu contohnya adalah Grace Natalie, ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Beberapa saat lalu dia dengan tegas mengatakan bahwa partai yang dipimpinnya akan menolak segala perda yang berbasis agama, baik perda shariah atau perda Injil, karena berpotensi menimbulkan intoleransi dan diskriminasi.
Pernyataan Grace yang dilontarkan di depan Presiden Jokowi beserta jajarannya adalah pernyataan yang serius dan menjadi sikap resmi partainya. Menolak agama mengatur kehidupan publik melalui peraturan daerah.Â
Kontan saja, selang beberapa saat setelah keluarnya pernyataan tersebut, muncul banyak penolakan, kemarahan dan kecaman dari berbagai pihak, hingga berujung pada laporan ke pihak berwajib.
Kecaman dan hujatan berdatangan karena pernyataan ketua umum PSI tersebut menghujam langsung ke area sakral bagi pemeluk agama Islam yang adalah mayoritas di negeri ini. Selain itu, sikap PSI juga dipandang berpotensi mengganggu penerapan syariah di wilayah NKRI.
*****
Terlepas dari kecaman dan hujatan, sikap PSI ini sebenarnya sangatlah menarik, karena anti mainstream dan bersifat mendobrak terhadap hal-hal yang masih dianggap tabu oleh banyak orang. Kalau partai-partai lain terus berlomba merayu untuk mendapat simpati dan dukungan dari pemilih muslim, Grace yang non muslim malah memercikan api kejengkelan kepada mereka, atau paling tidak sebagian dari masyarakat muslim.
Hal yang pantas diacungi jempol, meskipun partai baru, PSI berani menginisiasi diskursus publik tentang intoleransi dan diskriminasi akibat ayat-ayat suci agama dipaksakan untuk mengatur ruang publik dengan masyarakatnya yang majemuk. Selain itu, potensi akan tereduksinya kesucian ayat kitab suci sebagai akibat adanya pemaksaan penerapan tafsirnya ke ranah kehidupan publik yang majemuk.
Terkesan, bahwa PSI tidak mau mengenakan berbagai macam topeng penutup wajah untuk menarik simpati masyarakat yang beragam. PSI cukup yakin dengan memunculkan satu wajah saja yang sesuai dengan sikap dan platform politiknya. Dibiarkannya masyarakat luas tahu wajah PSI sesungguhnya agar bisa menentukan sikapnya terhadap partai baru ini.
Tentunya dengan wajah dan sikap yang jelas ini, banyak pihak, terutama dari kalangan Islam pendukung penerapan syariah, menolak dan menentang keberadaan partai ini dan berniat untuk menenggelamkannya dalam pemilu nanti.
Bagi PSI, kuantitas pendukung sepertinya belum menjadi prioritas, tapi kualitas pendukung yang memahami dan sejalan dengan platform partai adalah yang utama. Kelihatan sekali bahwa mereka sengaja membuat segmentasi pasar, dengan menyasar pemilih yang tidak menginginkan perda berbasis agama yang menimbulkan intoleransi dan diskriminasi.Â
Berapapun jumlah suara yang bisa diraih melalui pemilu, maka itu adalah modal kekuatan bagi Grace dan kawan-kawan untuk terus bersikap dan berjuang demi toleransi dan kedamaian negeri.
*****
Sejujurnya, penulis juga mendukung sikap PSI tersebut. Hal ini disebabkan, masyarakat Indonesia yang majemuk dan beraneka ragam, baik suku, budaya, ras dan agama, akan sangat rentan perpecahan bila dikotak-kotakan. Munculnya 'perda syariah' di daerah mayoritas muslim, yang kemuadian disusul 'perda injil' di daerah mayoritas Kristen, akan semakin mengkotak-kotakan wilayah NKRI.
Terhembusnya issue intoleransi dan diskriminasi terhadap penduduk minoritas akibat 'perda syariah', berpotensi dibalas dengan hal yang sama di daerah yang ber'perda injil'. Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka Indonesia akan semakin terkotak-kotak dan semakin sulit untuk dijaga keutuhannya.
 Maka dari itu, biarlah peraturan agama yang berdasar kitab suci mengatur masalah etika dan moral bagi masing-masing pemeluknya. Sementara itu, peraturan publik, seperti perda yang mengatur masyarakat luas yang majemuk, mengacu pada nilai-nilai humanisme universal dengan tetap mengakomodir nilai agama dan budaya setempat. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H