Perusahaan ZTE (Zhong Xing Telecommunication Equipment Company Limited), raksasa teknologi dari China langsung kelimpungan ketika beberapa saat lalu, pemerintah Amerika Serikat menetapkan larangan penjualan produk teknologinya selama tujuh tahun ke depan kepada perusahaan tersebut. Alasan pelarangan ini disebabkan ZTE telah menjual teknologi Amerika ke Korea Utara dan Iran, yang sedang terkena sangsi embargo. (Sumber)
Tentunya larangan tersebut membuat ZTE terancam lumpuh. Hal ini karena semua produk ZTE menggunakan teknologi semikonduktor dari Amerika, yaitu chip processor. Tanpa komponen chipset tersebut, tidak ada produk teknologi seperti, handphone, komputer, laptop, tablet dan gadget lainnya yang bisa dibuat. Selain produk hardware berupa chipset, ZTE juga tidak bisa membenamkan produk software seperti OS Android dan iOS dari Apple ke dalam produk buatannya.
Akibat larangan ini, ZTE yang selama ini sudah bekerja sama dengan Telkomsel dan Indosat, terpaksa berencana untuk hengkang dari Indonesia.
Larangan tersebut memang bisa saja membuat perusahaan raksasa sekelas ZTE mati suri. Namun, guncangan tersebut ternyata malah membuat China dengan industri teknologi reniknya tersadar akan ketergantungan mereka kepada teknologi semikonduktor buatan Amerika sangatlah besar. China segera mempersiapkan rencana untuk menghilangkan ketergantungan ini.
Salah satu suara yang cukup keras terlontar dari pimpinan Alibaba, Jack Ma, yang menyuarakan agar Cina, Jepang dan negara Asia timur lainnya harus segera bisa lepas dari ketergantungan teknologi semikonduktor Amerika. Hal itu dia katakan saat berbicara didepah mahasiswa dan pebisnis di Waseda University, Tokyo, Jepang, tanggal 26 April lalu.(Sumber)
Memang, China tidak akan bisa dengan mudah begitu saja menghilangkan ketergantungannya kepada Amerika, terutama untuk perangkat keras seperti chipset ini. Bagaimana tidak, sampai saat ini, negara paman Sam masih merupakan satu-satunya negara yang mampu menyediakan produk chipset tersebut melalui perusahaan seperti Intel, Aple, Qualcomm, dan lain-lain. Negara sebesar China masih tergantung 100% kepada Amerika akan produk semikonduktor.
Sementara untuk software seperti OS Android dan iOS, meski China diprediksi akan mampu untuk memproduksi alternatif pengganti dalam waktu relatif cepat, namun dari sisi pemasaran akan sulit dan butuh waktu adaptasi yang sangat lama. Hal ini disebabkan pemakai sudah terbiasa dengan OS Android atau i-OS Apple, yang keduanya menguasai pasar sekitar 99% untuk aplikasi smartphone.
Namun, tekad dari pemerintah dan para industriawan China untuk segera mengembangkan sendiri teknologi semikonduktornya, rupa-rupanya juga mampu membuat Amerika menjadi ketar-ketir. Bagaimana tidak, dengan dana yang tak terbatas serta pasar domestik yang sangat besar, maka apapun yang diinginkan China untuk dikembangkan dan dibuat, pasti akan berhasil. Termasuk teknologi semikonduktor ini.
Amerika memang pantas khawatir. Satu-demi satu 'kekuasaan' yang mereka miliki sudah dipretelin oleh China. Salah satunya adalah tentang finansial. Dulu banyak negara sangat bergantung dengan investasi dan pasar dari Amerika, namun sekarang, investasi dan pasar dari China sudah menjadi pilihan alternatif. Nah, sekarang China bertekad untuk menguasai teknologi hi-tech lainnya, seperti teknologi semikonduktor dan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Tentunya, Amerika tidak akan begitu saja membiarkan keunggulan mereka pada teknologi semikonduktor dan kecerdasan buatan tersaingi. Mereka dipastikan akan mencegah negara lain untuk dapat menguasai teknologi hi-tech tersebut.
Memang, China sendiri saat ini masih jauh tertinggal dari Amerika dalam bidang teknologi semikonduktor. Penguasaan teknologi ini butuh waktu yang lama. Lahir dari riset dan pengalaman yang bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Saat ini, Amerika adalah satu-satunya negara yang unggul. Jika teknologi ini juga dikuasai oleh China, maka lenyaplah keunggulan itu. Maka dari itu, sangat wajar bila negerinya Rambo merasa kawatir.
Sebenarnya penulis berharap tidak cuma Amerika saja yang bisa mengusai teknologi yang berciri hi-tech ini, karena menyebabkan harga produknya tidak berkeadilan, sebagai akibat ditentukan oleh satu pihak saja. Bila China dan negara-negara lain, termasuk Indonesia juga mampu memproduksinya, maka akan terjadi penyebaran teknologi secara relatif merata dan murah.
Dengan kata lain, nilai ekonomi yang dihasilkan dari teknologi tersebut juga akan tersebar relatif lebih luas dan merata. Kemakmuran akan meningkat secara relatif sama. Tidak 'njomplang' seperti saat ini.
Sebenarnya Indonesia juga punya potensi untuk bisa mengimbangi laju perkembangan teknologi dan tidak tertinggal terlalu jauh seperti saat ini. Sayangnya, kalau melihat dari topik-topik bahasan yang mencuat di negeri ini sepertinya belum siap. Bagaimana mau siap!? Negara lain sudah sibuk mempersiapkan persaingan teknologi ke depan. Di sini masih saja ada sebagian masyarakat yang sibuk teriak-teriak takut kalah dalam persaingan tenaga kerja, terutama tenaga kerja Aseng yang sebenarnya datang ke sini bersama 'duit' yang mereka bawa.
 Orang-orang yang sudah merasa takut kalah bersaing ini mungkin berpikir bisa membangun negara tanpa hutang, tanpa investasi asing dan tanpa tenaga kerja asing. Sepertinya mereka tidak sadar sedang bermimpi dalam ketakutannya. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H