Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"God of The Gaps"

1 Mei 2018   13:46 Diperbarui: 1 Mei 2018   14:10 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah God-of-the-gaps biasanya diterapkan pada fenomena tentang alam semesta yang belum  bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, yang kemudian diasumsikan sebagai karya Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan hanya berperan dan berkarya hanya pada 'celah' atau 'lobang' yang belum bisa ditutup oleh ilmu pengetahuan. Makanya timbul istilah God of the gaps.

God of the gaps ini sebenarnya juga sebagai kritik kepada pihak yang dengan mudahnya selalu menghubungkan dengan penjelasan supernatural, yaitu peran Tuhan terhadap segala fenomena alam yang belum ada penjelasaannya secara ilmiah, alias masih misteri. Idenya adalah bahwa ketika penelitian ilmiah berlangsung, dan semakin banyak fenomena alam bisa dijelaskan secara natural, maka peran Tuhan akan berkurang dengan sendirinya.

Seperti nenek moyang dahulu yang menganggap bahwa gunung meletus sebagai akibat dari marahnya 'sang gaib' penunggu gunung, sehingga diperlukan 'sesajen' guna meredam amarahnya. Begitu juga ketika orang menganggap bahwa 'sang penunggu' tebing-tebing menjulang selalu menirukan secara persis teriakan seseorang, maka ada nasehat bahwa kita harus diam saat melintasi tebing-tebing tersebut. Namun, kedua hal tersebut bukan lagi sebagai hal yang supernatural lagi, tetapi sebagai hal yang natural.

Dalam bidang kosmologi juga terjadi hal yang sama. Hingga pertengahan abad 20, manusia masih belum mengetahui bagaimana alam semesta ini tercipta. Saat itu orang masih mengandalkan ajaran agama untuk menjawab ketidaktahuan mereka, dan tentunya sebagai jawabannya adalah adanya peran Tuhan sebagai pencipta.

Jadi, kalau diibaratkan, maka alam semesta ini bagaikan sebuah dinding puzzle yang besar, dimana pada mulanya sebagian besar tempatnya masih kosong, belum diisi dengan kepingan puzzle. Untuk mendapatkan satu keping puzzle yang bisa menutup dinding, dibutuhkan usaha yang besar dari manusia. Manusia butuh kecerdasan dan sumber daya yang cukup untuk menemukan keping demi keping puzzle tersebut.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dinding tersebut sudah diisi oleh kepingan-kepingan puzzle, dan dan menyisakan bidang kosong atau celah yang sedikit?

Fakta menunjukan, meskipun sudah banyak sekali keping-keping puzzle yang dihasilkan oleh usaha manusia, namun ternyata ruang kosong masih luas. Bahkan, celah atau ruang kosong yang ada semakin rumit dan meluas. Sepertinya di balik ruang kosong tersebut terdapat ruang kosong yang lain. Ada misteri lain yang bakal muncul di balik misteri yang ada.

Kasus yang teranyar adalah pencarian Theory of Everything, suatu teori yang digadang-gadang akan mampu menjawab segala pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa alam semesta ini ada. Sebuah teori yang diharapkan bisa menggabungkan teori mekanika kuantum yang menjelaskan 'jagat renik' dengan materi sub atomiknya, dengan teori gravitasi yang menjelaskan 'jagat besar' dengan benda besarnya.

Akan tetapi hingga kini Theory of Everything tersebut masih sebatas teori. Belum ada yang mampu mewujudkan secara faktual dan eksperimental teori tersebut. Memang ada beberapa ilmuwan yang menyodorkan String Theory sebagai jawaban. Namun, teori yang mendasarkan pada asumsi bahwa partikel elementer alam semesta ini berupa dan berperilaku seperti dawai yang bergetar, masih juga diragukan kesahihannya. Masih belum mampu menjadi sebuah keping puzzle yang menutup dinding secara tuntas.

Justru Teori Dawai atau String Theory ini malah memunculkan implikasi adanya alam semesta lebih dari satu, atau multi universe. Satu alam semesta saja masih belum tuntas untuk dipahami, apalagi multi alam semesta. Sepertinya alam semesta masih akan menyisakan celah-celah misteri yang makin kompleks dan rumit.

Akan tetapi, keingintahuan manusia untuk terus menguak misteri demi misteri tentang alam semesta semakin besar dan menggelora, meski tidak semua orang punya tujuan, keinginan, prioritas dan hasrat yang sama untuk menguak misteri tersebut.

Ada beberapa type orang dalam menyikapi tantangan misteri alam ini. Ada yang apatis dan cenderung tidak peduli. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi dan sosial yang tidak memungkinkan, sehingga penguakan misteri bukan menjadi prioritasnya. Ada juga yang tidak mampu melakukan apa-apa selain diam dan menunggu, karena kemampuan kecerdasan yang kurang.

Selain itu tentunya ada juga orang yang terus menerus berusaha untuk menguak misteri-misteri alam semesta. Selain kemampuan yang mereka miliki dari sisi kecerdasan pikir serta sumber daya pendukung lainnya, orang tersebut biasanya juga memiliki lingkungan masyarakat yang juga mendukung. Bahkan masyarakatnya memiliki passion atau hasrat yang sama untuk menaklukan tantangan-tantangan misteri tersebut.

Namun, ada juga orang yang bisanya cuma menunggu sembari mengamati dari jauh pihak-pihak yang sedang sibuk bekerja menguak misteri. Dia berdiri mengamati dengan membawa  keyakikannya sendiri yang dianggap pasti benar, dimana celah yang masih misteri ini langsung dipandang sebagai peran Ilahi/Tuhan, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Ada kalanya juga, setiap ada keberhasilan dalam menguak sebuah misteri, maka orang ini akan berusaha menghubungkannya dengan informasi dari keyakinannya, untuk kemudian dikatakan bahwa penemuan tersebut sebenarnya bukan hal yang baru, karena sudah ada dalam buku keyakinannya.

Dalam permainan 'susun puzzle', orang seperti ini bagaikan sedang mengamati dari belakang, sementara orang lain sibuk menyusun keping-keping puzzle pada sebuah dinding besar. Dia tidak mampu mencari keping puzzle dan memasangnya sendiri ke dalam dinding. Dia lebih asyik melihat dan sesekali berkomentar menghibur diri pada setiap keping puzzle yang sukses dipasangkan pada dinding.

Nah, anda mau memilih berperan sebagai apa? Orang yang sibuk memikirkan cara menyusun puzzle dalam dinding? Orang yang hanya ingin mengamati saja dari belakang? Atau memang tidak mau terlibat sama sekali, karena tidak tertarik dengan permainan 'susun puzzle'? Semua pilihan boleh-boleh saja, selama tidak melanggar hukum. Sekian.

Silahkan klik di sini untuk artikel lainnya.

Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun