Beberapa saat lalu, Pemerintah membekukan sementara kegiatan beberepa proyek infrastruktur skala besar, terutama pada bagian "elevated". Hal ini disebabkan oleh terjadinya beberapa kecelekaan secara beruntun pada proyek tersebut. Tercatat sejak Agustus 2017 hingga Februari 2018, telah terjadi 13 kecelakaan.
Rasa-rasanya tidak percaya melihat fakta kecelakaan yang terjadi secara beruntun di berbagai proyek infrastruktur di negeri ini. Bagaimana tidak. Untuk urusan rekayasa konstruksi berat, sebenarnya teknologi yang dikuasai oleh anak bangsa, terutama para Insinyur Teknik Sipil, sangatlah memadai. Bahkan, penguasaan teknologi konstruksi berat seperti proyek infrastruktur sipil ini tidaklah kalah dengan negara-negara tetangga.
Sebenarnya, kalau dilihat dalam kaca mata konstruksi, kecelakaan-kecelakaan yang terjadi adalah kecelakaan yang sifatnya 'ecek-ecek' dan tidak seharusnya terjadi. Kecelakaan-kecelakaan tersebut terjadi bukan karena sulit atau butuh teknologi yang tinggi, namun semata-mata karena sifat 'menggampangkan' dari pihak-pihak yang terkait.
Pihak manajemen, baik yang di proyek atau di kantor, yang seharusnya memberi perhatian khusus, telah lalai melakukannya. Sekali lagi, mereka bersikap 'menggampangkan' dengan menganggap hal-hal teknis dan prosedur yang berhubungan dengan keselamatan kerja adalah hal kecil yang cukup diurus oleh pekerja level bawah.
Mereka terbiasa berpikir dan bertindak untuk tidak menyentuh dan memberi perhatian hal-hal kecil tersebut. Cukup dibiarkan dan diurus oleh pekerja lapangan.
Kalau dilihat jenis kecelakaan yang terjadi, maka sebagian besar berhubungan dengan sistem pengangkatan bagian struktur, yaitu saat proses erection untuk elevated structure. Pengangkatan dengan menggunakan alat angkat berat atau heavy lifting device, seperti mobile crane atau gantry crane.
Dan sebagian besar kecelakaan yang terjadi saat proses lifting adalah karena human error. Kesalahan manusia. Bisa jadi karena perencanaan pengangkatan atau lifting plan yang tidak proper, atau bahkan tidak ada. Selain itu, kemungkinan juga para pekerja yang terlibat secara langsung dalam proses lifting tersebut tidak mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan. Salah satu syaratnya adalah mereka harus mempunyai sertifikat dari Depnaker.
Sebagai bahan masukan, untuk pekerja-pekerja yang terlibat langsung, mulai dari perencana lifting, pengawas dan pelaksana lifting bisa merujuk pada standar kualifikasi yang diterapkan pada proyek minyak dan gas di bawah naungan SKK migas.
Pada proyek migas, terutama untuk proyek skala internasional, maka sejatinya seorang operator crane atau operator alat berat lainnya, beserta tim, yaitu banksman/slinger dan rigger akan mendapatkan perlakuan sangat khusus. Mereka termasuk pekerja dengan posisi "critical role".
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Banksman adalah pekerja yang memberi pengarahan kepada operator crane untuk melakukan pekerjaannya saat proses pengangkatan beban. Slinger adalah pekerja yang ahli dalam proses pengikatan benda yang akan diangkat oleh crane. Dia tahu bagaimana cara dan dimana posisi pengikatan agar aman saat diangkat. Sementara itu Rigger adalah pekerja yang mengoperasikan alat angkat manual, seperti chain block, alat pengungkit, dongkrak, dll.
Jadi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang bekerja dalam kategori sebagai "critical role". Seorang operator crane, banksman/slinger dan rigger harus memegang sertifikat dari Migas yang masih berlaku (Note. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Migas ini adalah sertifikat yang sangat kredibel, bukan abal-abal).
Setelah lolos MCU (Medical Checkup), mereka akan melewati sesi interview dan test teori, kemudian setelah lolos dilanjut dengan uji praktek dengan alat berat yang akan dioperasikan.
Selain itu, untuk proyek skala besar, ada syarat tambahan bagi mereka yang lolos untuk mengikuti OPITO (Offshore Petroleum Industry Training Organization) training, selama beberapa hari dan harus mendapatkan sertifikat kelulusan. Baru setelah semua berhasil dilewati, mereka baru diperbolehkan masuk area proyek dan bekerja sesuai kualifikasinya.
Begitu juga untuk pengawas dan perencana lifting. Seorang supervisor lifting harus mempunyai sertikat Migas sebagai syarat untuk bisa mengawasi jalanya pross pengangkatan. Sementara untuk lifting planner atau lifting engineer, selain mempunyai sertifikasi dari Migas, yang bersangkutan juga harus mempunya sertifikat dari LEEA (Lifting Equipment Engineers Association).
Jadi, sebenarnya kontraktor jauh lebih mudah merekrut seorang insinyur yang berpendidikan formal tinggi, dari pada merekrut banksman, slinger, rigger atau operator crane yang cuma butuh pendidikan formal seadanya. Hal ini karena, pekerjaan sebagai insinyur adalah katagori "non-critical role", sehingga tidak memerlukan syarat-syarat tambahan yang cukup rumit.
 Dengan memberi perhatian lebih pada pekerja yang terlibat proses pengangkatan benda berat secara langsung, akan menjadikan pekerjaan yang berjenis "critical" tersebut dioperasikan oleh pekerja yang telah memenuhi kriteria yang benar. Sehingga bisa dihindari kecelekaan yang terjadi akibat kesalahan saat proses pengangkatan. Sekian.
Silahkan klik di sini untuk artikel lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H