Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Golden Rule", Peredam Radikalisme Beragama

14 Februari 2018   08:49 Diperbarui: 14 Februari 2018   09:01 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: greglgilbert.com

Adalah sesuatu yang wajar dan alami, jika agama atau aliran kepercayaan menyuarakan klaim kebenaran (truth claim) bagi ajarannya, karena hal ini memang merupakan esensi dan jati diri sebuah agama. Truth claim juga merupakan sarana untuk mengajak orang-orang luar masuk menjadi pengikut/umatnya, untuk kemudian dijanjikan akan mendapatkan penguatan, kebahagiaan, kedamaian, keselamatan di dunia dan akhirat.

Hanya saja, fakta yang terjadi, agama dan keyakinan justru sering menjadi pemicu banyak konflik antar sesama. Seolah, agama yang seharusnya membawa dan menyebarkan kedamaian di dunia ini, justru bertindak sebaliknya. Banyak kekerasan-kekerasan terjadi justru karena alasan agama dan bahkan sebagian malah atas anjuran ajaran agama.

Ayat-ayat suci yang tertulis di kitab suci masing-masing agama adalah suatu kebenaran, karena dipercaya sebagai Firman Allah. Namun, tafsir terhadap ayat-ayat suci tersebut yang berbeda antara aliran satu dengan yang lain, sehingga membuat ayat yang sama bisa menjadi beda makna dan maksud.

Perbedaan tafsir itu terjadi, karena selain beda pemahaman dan kondisi sosial dan budaya masyarakat sekitar, juga karena berbeda kepentingan dari si penafsir. Perbedaan kepentingan yang menyertainya bisa jadi kepentingan politik, sosial dan ekonomi.

Perbedaan penafsiran inilah yang membuat agama Kristen akhirnya terpecah menjadi Katolik Roma, Katolik Ortodoks, Anglikan dan Kristen Protestan sebagai agama-agama yang berbeda meski kitab suci dan Tuhannya sama. Sementara, dalam agama Kristen Protestan sendiri, muncul ribuan aliran-aliran atau sekte yang berbeda-beda. Bahkan kemudian muncul pula aliran Saksi Yehova dan Kristen Mormon yang sama sekali jauh berbeda dari Kekristenan.

Begitu juga dalam Islam. Tafsir-tafsir ayat suci Alquran yang terus berkembang, melahirkan paham-paham yang berbeda satu sama lain. Muncul aliran Suni, Syiah dan Ahmadiyah. Di dalam aliran Suni sendiri pun muncul beberapa paham yang berbeda, seperti Wahabi dan Salafy contohnya.

Semua agama-agama atau aliran-aliran tersebut mengklaim paling benar terhadap tasfir ayat-ayat suci. Namun, kebenaran yang diklaim tersebut mestinya hanyalah bersifat lokal, yang artinya benar hanya bagi kelompoknya sendiri yang sepaham.

Orang-orang yang menganggap agamanya atau ajarannya sebagai satu-satunya yang benar dan yang lain sebagai jalan kesesatan adalah penganut paham eksklusif. Sementera inklusif adalah mereka yang menganggap agama atau ajaran lain mengandung elemen kebenaran, tapi kebenaran dalam agamanya adalah yang superior.

Ada kelompok ketiga yang disebut pluralis, yang beranggapan tidak ada superioritas dalam klaim kebenaran oleh agama atau ajaran tertentu. Mereka menganggap bahwa semua agama atau ajaran yang berbeda adalah setara dalam klaim kebenaran dan merupakan jalan yang sah menuju keselamatan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pengakuan klaim kebenaran ajarannya sendiri, namun cara pandang dan perilaku dalam mengimplementasi klaim kebenaran tersebut, yang cenderung radikal bisa menimbulkan gesekan-gesekan dengan kelompok lain.

Kelompok eksklusif cenderung radikal dalam memandang kebenaran agama atau ajarannya sendiri. Ketat dan keras dalam menjalankan aturan ajarannya. Mereka juga keras menyuarakan kesesatan ajaran lain yang tidak sesuai dengan ajarannya, serta mudah menyesatkan, mengkafirkan atau membidahkan terhadap pihak lain yang berseberangan.

Jadi, konflik-konflik yang timbul, khususnya konflik sektarian yang berhubungan dengan agama dan keyakinan di berbagai belahan bumi ini, sejatinya adalah 'perebutan pengakuan akan klaim kebenaran'. Yang terjadi pada awalnya adalah paham eksklusif radikal memaksakan kebenaran versinya kepada pihak lain, sekaligus menyatakan pihak lain tersebut salah dan sesat.

Apabila paham eksklusif radikal berhadapan dengan paham inklusif atau pluralis, memang akan sulit untuk langsung terjadi benturan kekerasan. Hal ini disebabkan pihak inklusif dan pluralis akan cenderung bisa menahan diri untuk menghindari kekerasan dan lebih mengedepankan dialog. Namun, bila sesama paham eksklusif radikal berbenturan, maka benturan kekerasan akan cepat terjadi dan meluas.

Bisa dikata, tidak ada konflik antar agama atau antar aliran. Yang ada adalah konflik pemaksaan paham kebenaran ajaran kepada pihak lain. Konflik paham eksklusif radikal dengan inklusif atau pluralis dan yang berbahaya adalah konflik antar sesama ekslusif radikal. Sementara agama dijadikan alat untuk memperbesar skala konflik.

Sebenarnya untuk mencegah atau mengurangi konflik antar agama atau aliran, bisa dilakukan bila masing-masing agama atau aliran mau merubah paham eksklusif menjadi paham inklusif. Dengan paham inklusif ini, mereka menerima kebenaran agama lain, namun masih berhak mengklaim bahwa agamanya paling benar sendiri. Aliran yang bersifat inklusif cenderung untuk tidak menyesatkan, mengkafirkan dan membidahkan aliran lain.

Selain itu ada hukum universal yang bisa dijadikan acuan dalam hubungan antar sesama, yaitu aturan emas atau golden rule yang berbunyi, 'Perbuatlah kepada orang lain, seperti kamu inginkan orang lain berbuat kepadamu'. Dan juga 'Janganlah berbuat kepada orang lain, seperti yang tidak kamu inginkan orang lain berbuat kepadamu'.

Seandainya orang-orang berlomba-lomba menerapkan prinsip golden ruledalam hubungan dengan sesama, maka konflik antar sesama akan semakin bisa dihindari. Apalagi, sejatinya keyakinan seseorang adalah urusan vertikal pribadi dengan Tuhan, dan yang berhak menilai benar atau salah hanyalah Tuhan. Orang lain tidak berhak menilai keyakinan seseorang, karena penilaiannya pastilah tidak obyektif, tapi subyektif berdasar tafsir si penilai.

 Yang bisa dinilai oleh orang lain, hanyalah amalan atau perbuatan di dunia ini. Karena perbuatan bisa dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Perbuatan sesorang adalah refleksi dari keyakinannya. Untuk itu, terus berbuat baik kepada sesama dan sekitar, dan jadikan sebagai sarana dakwah agama atau ajaran. Tidak sekedar ujaran-ujaran ayat-ayat suci saja, tanpa perbuatan baik. Sekian.

Silahkan klik di sini untuk artikel saya yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun