Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesadaran Manusia, sebagai Efek Samping dari Entropi Otak?

3 Februari 2018   19:32 Diperbarui: 3 Februari 2018   19:40 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: willyyandi.wordpress.com

Seseorang disebut memiliki kesadaran diri jika ia mampu memahami emosi dan mood yang sedang dirasakan, kritis terhadap informasi mengenai dirinya sendiri, dan sadar tentang dirinya yang nyata. Pendek kata, kesadaran diri adalah jika seseorang sadar mengenai pikiran, perasaan, dan evaluasi diri yang ada dalam dirinya.

Kesadaran selalu berhubungan dengan otak. Semakin baik otak seseorang, maka kesadaran manusia tersebut juga akan baik. Sebaliknya bila otak tidak berkembang karena terjadi kecacatan, maka kesadaran orang tersebut juga tidak berkembang. Orang cacat mental sejak lahir adalah orang yang boleh dikata tidak mempunyai kesadaran yang baik.

Meskipun kesadaran adalah bagian penting agar seseorang bisa dikatakan menjadi manusia sesungguhnya, namun manusia masih belum benar-benar mengerti dari mana asalnya, dan mengapa kita memilikinya. Pencarian untuk memahami kesadaran manusia, kemampuan kita untuk menyadari diri kita dan lingkungan kita, telah berlangsung selama berabad-abad.

Namun sebuah penelitian baru, yang dilakukan oleh periset dari University of Toronto, Kanada and Paris Descartes University, Perancis, mengemukakan sebuah kemungkinan baru. Bagaimana jika kesadaran ini muncul secara alami sebagai hasil dari otak kita yang terus bekerja memaksimalkan konten informasinya? Dengan kata lain, bagaimana jika kesadaran adalah hanya efek samping otak kita yang bergerak menuju keadaan entropi yang semakin besar?

Entropi di sini adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam system, per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Entropi pada dasarnya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perkembangan suatu sistem dari keteraturan menuju ketidakteraturan. Semakin tinggi entropi suatu sistem menunjukkan sistem semakin tidak teratur.

Contoh sederhananya adalah sebutir telur yang telah dipisahkan secara baik antara kuning dan putih telurnya mempunyai nilai entropinya masih rendah. Namun, saat kita mengacaknya sehingga kuning dan putih telur tercampur secara tak beraturan, menyebabkan entropi telur meningkat atau mengalami ketidakaturan yang tinggi.

Banyak fisikawan meyakini bahwa setelah Big Bang, Alam Semesta telah berangsur-angsur bergerak dari keadaan entropi rendah ke entropi yang lebih tinggi. Arah waktu selalu bergerak ke depan.

Hal ini sejalan dengan Hukum II Termodinamika, yang menyatakan : "kalor mengalir secara alami dari benda yang panas ke benda yang dingin, kalor tidak akan mengalir secara spontan dari benda dingin ke benda panas", yang artinya juga bahwa entropi akan terus meningkat dalam sebuah system.

Sama seperti alam semesta, otak kita yang memiliki materi dasar penyusun yang sama dengan materi dasar penyusun alam semesta ini, mungkin diprogram untuk berperilaku sama. Awalnya otak manusia yang baru lahir dalam keadaan relatif stabil atau memiliki entropi rendah.

Namun seiring dengan jalannya waktu, otak kita mengalami banyak 'gangguan' dari luar yang berupa informasi-informasi yang harus 'diselesaikan'. Hal ini membuat otak untuk terus berevolusi yang mengakibatkan semakin kompleks interaksi yang terjadi pada jaringan nueron dalam otak. Nilai intropi menjadi lebih tinggi.

Yang terjadi pada otak kita mirip dengan prinsip entropi. Dan kesadaran kita timbul sebagai efek sampingnya saja.

Ini yang menjadi dasar para periset dari kedua universitas tersebut memutuskan untuk menerapkan prinsip yang sama, dan menyelidiki apakah ada pola tertentu dalam interaksi jaringan neuron dalam otak manusia dalam keadaan sadar. Mereka menerapkannya kepada sembilan orang relawan, termasuk tujuh yang menderita epilepsi.

Dengan menggunakan teori probabilitas tertentu, yaitu mekanika statistika yang sering dipakai untuk menjelaskan termodinamika sebagai produk alami dari statistika dan mekanika (klasik dan kuantum) pada tingkat mikroskopis, kemudian interaksi yang terjadi pada jaringan neuron dalam otak dari sembilan orang tersebut dibuat pemodelannya.

Mereka membuat dua kumpulan data. Pertama, mereka membandingkan pola konektivitas saat peserta tidur dan bangun dan kemudian melihat perbedaannya ketika tujuh pasien epilepsi mengalami kejang-kejang. Kedua, ketika otak para relawan berada dalam keadaan normal, 'waspada'.

Dalam kedua situasi tersebut, mereka melihat kecenderungan yang sama, yaitu terjadi interaksi antar jaringan neoran dalam otak yang tinggi saat relawan uji dalam keadaan sadar. Artinya menunjukkan entropi yang tinggi saat orang dalam keadaan sadar sepenuhnya.

Hal ini menyebabkan para peneliti tersebut berpendapat bahwa kesadaran hanya merupakan "sebuah object yang muncul" akibat entropi yang semangkin meningkat dari otak manusia, dimana jaringan sel otak atau neuron terus menerus memaksimalkan pertukaran informasi di dalamnya.

Memang, masih sulit untuk mendapatkan konklusi yang solid dari penelitian ini. Selain sample yang menjadi obyek penelitian masih kurang, juga tidak dilakukannya eksperimen pada keadaan otak saat berada di bawah anestesi misalnya.

Namun, bisa dipastikan penelitian ini adalah titik awal yang baik untuk penelitian lebih lanjut, dan berharap mendapatkan hipotesis baru mengapa otak kita cenderung sadar.

Yang jelas, kita baru mulai memahami bagaimana cara kerja otak bisa mempengaruhi kesadaran manusia. Selanjutnya penelitian-penelitian ke depan berharap akan dapat mengungkap secara utuh hubungan antar keduanya. Selain itu, sekali lagi kita disadarkan bahwa  apa yang terjadi pada manusia, semua 'tunduk dan terhubung' oleh hukum yang mengatur alam semesta ini.

Alam semesta yang sejak awal keberadaannya, bergerak ke satu arah dan mengalami peningkatan entropi yang semakin tinggi, yang berarti mengalami ketidakteraturan yang semakin kompleks. Namun efek sampingnya, bagi kita mahkluk penghuni Bumi, alam semesta ini juga menuju ke kesempurnaannya dari waktu kewaktu dengan terciptanya benda-benda langit dan mahkluk-mahkluk hidup yang sangat kompleks seperti kita manusia ini.

Begitu juga dengan otak kita. Apabila kita "ganggu" otak kita dengan membebaninya persoalan-persoalan hidup, seperti tugas-tugas kantor atau sekolah  yang minta segera dicarikan solusi dan penyelesaian jawabannya, dengan buku-buku atau informasi-informasi lainnya yang juga harus ditampung untuk dimengerti, maka interaksi jaringan neuron dalam otak akan meningkat.

 Entropi otak kita akan semakin meningkat, dan efek sampingnya adalah "kesadaran" kita sebagai manusia juga akan semakin baik. Sekian.

Referensi tulisan, sciencealert.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun