KETIKA NABI NUH menginformasikan bahwa akan datang banjir bandang, semua orang men-takhayulkan kabar itu. Mungkin jika kita pada saat itu ada disana, kita juga akan menjadi bagian dari masyrakat yang mencemooh informasi dari Nabi Nuh. Sebab kabar tentang kedatangan banjir sama sekali tidak relevan dengan kondisi pada saat informasi itu disampaikan. Manusia sering terperangkap ke dalam kurungan-kurungan logikanya sendiri yang terbatas.
Apa yang hari ini belum kita ketahui itu bukan berarti tidak ada, sebaliknya apa yang hari ini sedang kita yakini dengan mantap, juga belum tentu sebuah kebenaran yang relevan untuk masa yang akan datang. Manusia tidak berkuasa untuk menyentuh kebenaran secara utuh, apa yang kita anggap sebagai kebenaran sesungguhnya hanyalah batas maksimal manusia dalam mempersepsikan tentang kebenaran. Qur'an pasti benar, tetapi tafsir kita tentang Qur'an itu relatif. Dan setiap orang, siapapun dia hanya bisa menafsiri saja.
Pada jaman majapahit, kalau anda bicara tentang Partai politik dan demokrasi, itu akan dianggap takhayul dan igauan para penghayal. Tetapi toh beberapa ratus tahun kemudian itu terjadi, bahkan sekarang menjadi keyakinan utama masyarakat modern. Mayrakat yang sekarang sedang meyakini demokrasi juga akan bersikap seperti orang-orang di jaman majapahit atau kaum di jaman Nabi Nuh yang menolak informasi tentang kemungkinan kebenaran di luar kurungan logika mereka yang dibatasi oleh segala indikator-indikator kekinian.
Demikianlah manusia selalu terkurung oleh perangkap logikanya yang terbatas dari jaman ke jaman. Seandainya hari ini saya katakan, "beberapa tahun ke depan kita akan mendapatkan pemimpin dari tingkat kabupaten sampai level nasional tidak dengan cara yang hari ini kita peragakan. Partai-partai kelak akan tidak relevan lagi sebagai perangkat dari mekanisme untuk mendapatkan pemimpin." Kabar semacam ini tentu akan dianggap konyol dan tidak masuk akal, hanya karena hari ini kita sedang menggunakan undang-undang dan sistem politik seperti sekarang.
Sesekali coba kita berendah hati untuk menyadari bahwa logika kita terbatas dan daya jangkau pengetahuan kita tentang masa depan terlalu pendek, agar kita tidak bernasib seperti kaum nabi Nuh yang tergerus dan tenggelam banjir bandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H