Dalam prakteknya, tidak adanya pembatasan subyek yang dapat menjadi Pemberi HT tersebut menimbulkan permasalahan. Jika Pemberi HT adalah debitor atas  tanah miliknya sendiri tidak menimbulkan masalah, karena debitor sudah mengerti risikonya jika ia wanprestasi, tanah yang dijaminkan akan dilelang untuk pelunasan utangnya. Permasalahan akan muncul jika tanah yang dijaminkan debitor adalah tanah milik pihak ketiga, karena bisa saja terjadi kesepakatan antara pihak ketiga sebagai pemilik tanah dengan debitor dalam meminjamkan tanahnya karena Dwang, Dwaling, Bedrog dan Misbruik van omstandigheden yang merupakan bentuk cacat kehendak.
Disamping itu tanah yang menjadi obyek HT milik pihak ketiga juga menimbulkan permasalahan jika debitor dinyatakan pailit. Kedudukan obyek HT milik pihak ketiga dalam kepailitan belum mendapat pengaturan yang jelas, apakah masuk sebagai boedel pailit debitor atau bukan.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9 Tahun 2019 tentang Layanan Hak Tanggungan Elektronik, yang membatasi Hak Tanggungan yang dapat didaftarkan jika Pemberi HT adalah debitor sendiri.
Dari uraian diatas, permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah 1) apa rasio pembatasan subyek pemberi HT dalam layanan HT-el; 2) tepatkah pembatasan tersebut diatur melalui peraturan menteri.
PEMBAHASAN
1. Obyek Dan Subyek Hak Tanggungan
Secara umum obyek pembebanan hak tanggungan adalah hak atas tanah, namun tidak semua hak atas tanah dapat dibebani hak atas tanah. Dalam Pasal 4 UUHT disebutkan bahwa yang dibebani dengan hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Selain ketiga hak atas tanah sebagaimana dimaksud, hak tanggungan dapat juga dibebankan pada Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Maksud dari Hak Pakai yang diberikan oleh negara kepada orang perorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan.
Adapun pemberi hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 8 UUHT disebutkan bahwa Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitur. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitur dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 9 UUHT disebutkan bahwa pemegang Hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Sebagai pihak yang berpiutang disini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT.