Kecenderungan ini muncul biasanya dari kalangan menengah ke bawah dan kemampuan akademik rendah. Sistim zonasi membuat mereka tidak harus bertarung menggunakan prestasi nilai untuk masuk sekolah negeri.
Sebelum sistim zonasi berlaku, golongan inilah yang menjadi sasaran sekolah-sekolah swasta biasa. Pasca pengumuman PPDB sekolah negeri, mereka kebanyakan kebingungan karena belum mendapatkan sekolah, maka satu-satunya pilihan adalah sekolah-sekolah swasta tersebut.
Menyuburkan Sekolah-Sekolah Swasta Bonafid
Jika PPDB sistim zonasi menghancurkan sekolah swasta biasa, tidak dengan sekolah-sekolah swasta bonafid. Mereka justru merasakan 'madu' PPDB sistim zonasi.
Hal ini terlihat dari para orang tua dengan tingkat ekomomi bagus, yang memilih sekolah swasta tersebut sebagai pilihan bagi anak mereka. Biaya berapa pun yang dibebankan, mereka sanggupi.
Kecenderungan iniu muncul disebabkan sekolah-sekolah negeri favorit kini tidak lagi 'steril'. Jika sebelumnya sekolah-sekolah ini berisikan siswa dengan tingkat akademik tinggi, kini tidak lagi.
Dengan penerapan sistim zonasi, paling tidak 55% siswa yang diterima datang dari penduduk sekitar sekolah tersebut. Mereka-mereka inilah yang masuk hanya didasarkan jarak rumah tinggal dengan sekolah tersebut.
Berdasarkan input yang tidak seperti dahulu lagi, muncul kekhaewatiran merosotnya mutu sekolah-sekolah negeri favorit tersebut. Sehingga dari pada harus menanggung berbagai akibat, mereka memilih sekolah swasta bonafid sebagai pilihan.
Di sisi lain, sekolah-sekolah negeri favorit pun harus merasakan imbasnya terkait input yang masuk.
Gambaran inilah yang saat ini terjadi. Potret kontardiktif tutupnya sekolah-sekolah swasta biasa dan makin berjayanya sekolah-sekolah swasta bonafid.
Lembah Tidar, 4 Juli 2024