Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modal Gerobak, Raup Penghasilan Sekelas Pegawai Negeri

20 Juni 2024   20:11 Diperbarui: 20 Juni 2024   20:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini muncul dari obrolan di depan sebuah rumah sakit swasta di kota kecil Magelang. Saat itu lagi ngantar ibu kontrol. Sambil nunggu antrian iseng pesen kopi di sebuah warung gerobak di depan rumah sakit.

Penjualnya seorang ibu dengan penampilan ibu-ibu seperti biasanya. Berbaju daster dengan hijab biasa saja. Di depannya sebuah gerobak penuh dengan aneka penganan. Sedangkan di samping terdapat meja kecil dengan rentengan aneka macam kopi dan susu. Tidak lupa 2 buah termos dan gelas.

"Bu, kopi setunggal," ucap saya pada ibu-ibu tadi.

"Hitam atau kopi susu, Pak."

"Hitam saja."

Tak lama satu gelas kecil berisi kopi hitam di atas piring kecil tergeletak di meja kecil sebelah saya duduk.

Setelah menyeruput kopi hitam tadi, saya pun membuka obrolan mumpung enggak terlalu rame.

"Dah lama jualan, Bu?"

"Lumayan, Pak. Lima tahun."

"Tiap hari?"

"Iya, Pak. Pagi sampai malam."

Obrolan kami terus berlanjut sampai suatu ketika pertanyaan saya menyasar pada penghasilan dari jualan tersebut.

Di sinilah saya dibuat terkejut dengan nominal angka yang disebutkan.

"Dua ratus ribu, Pak," jawab ibu tersebut saya saya tanya penghasilannya.

"Bersih?"

Dia mengangguk.

Benak saya pun mulai menghitung. Dua ratus ribu kali 30 hari. Ketemunya 6 juta rupiah. Beda tipis dengan gaji saya sebaga PNS Guru.

"Lha, kue-kue ini dari mana? Ibu bikin sendiri?"

Dia menggeleng. Dia bercerita bahwa semua dagangannya adalah titipan dari orang-orang. Mereka menitipkan pagi hari, lalu mengambilnya kembali siang atau sore hari.

"Kalau tidak habis?"

"Ya, mereka ambil lagi."

Saya pun berpikir, enak banget ibu ini. Dengan diambil kembali, tidak ada resiko rugi baginya. Sebab dagangan yang tidak laku tadi menjadi tanggungan si penitip.

"Lalu harganya?"

"Yang penting saya setor ke dia sesuai harga mereka, sedang jualnya tergantung saya mau ambil untung berapa," jelasnya.

Dengan Gambaran ini saya pun jadi paham bagaimana ibu ini bisa meraih untung bersih 200 ribu sehari. Untuk ukuran kota Magelang, penghasilan ini luar biasa.

"Selain dari kue-kue ini, dari jualan kopi lumayan juga hasilnya. Tinggal beli kopi atau susu sachet kemudian air panas, dah dapat untung lumayan," tambahnya.

Obrolan kami tidak terasa hampir satu jam. Apa yang disampaikan ibu-ibu itu jujur membuat saya terperangah. Ternyata penampilan sederhananya menyembunyikan penghasilan sekelas saya seorang guru dengan masa kerja 32 tahun. Luar biasa.

Lembah Tidar, 20 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun